BANDUNG – Dinas Kesehatan Jawa Barat mengingatkan kepada setiap kabupaten/kota untuk lebih mewaspadai terhadap serangan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang bisa mengancam nyawa seseorang.
Kepala Dinas Kesehatan Jabar, Berli Hamdani menyebutkan, ancaman DBD sangat tinggi di tahun ini sehingga dibutuhkan kewaspadaan bersama dengan menjaga lingkungan yang sehat.
“Bisa dibilang gelombang kedua untuk DBD, karena seharusnya di 2020 ini tidak termasuk dalam siklus empat tahunan DBD, karena itu sudah dilewati 2019,” kata Berli kepada wartawan, di Gedung Sate, Selasa (23/6).
Namun hal ini terjadi di luar dugaan, setelah dijalankan indentifikasi ada sistem penularan baru oleh nyamuk aedes aegypti ini. Diagnosis nyamuk ini mengandung virus DBD sejak berbentuk telur yang dinamakan transoverial, namun oleh pihaknya saat ini indikasi tersebut masih dalam kajian di Litbangkes.
Berli menuturkan, berdasarkan data yang dilaporkan, kasus DBD di Jabar pada Januari 2020 mencapai 2.213 kasus dengan 20 kematian sedangkan Februari terdapat 2.479 kasus dengan 18 kematian.
Kemudian Maret tercatat 2.942 kasus dengan 23 kematian, April sebanyak 888 kasus dengan 10 kematian dari 12 kabupaten/kota, sedangkan pada Mei terdapat 759 kasus dengan 7 kematian, dari 14 kabupaten/kota.
Berli mengatakan angka kematian akibat DBD terbanyak di Jabar terjadi di Kabupaten Cirebon, yakni 11 kematian dengan 447 kasus DBD sampai akhir Mei. Daerah dengan angka kematian akibat DBD kedua terbanyak adalah di Kota Tasikmalaya dengan 8 kematian dari 413 kasus DBD sampai akhir Mei.
“Kalau berdasarkan jumlah kasus terbanyak, Kota Bandung. Pada Januari-Mei 2020, di Kota Bandung kasus DBD-nya mencapai 1.748 kasus dengan 9 kematian,” ujarnya.
Berli menambahkan, daerah baru bisa menetapkan DBD sebagai KLB atau Kejadian Luar Biasa ketika jumlah kasusnya sudah dua kali lipat atau lebih saat dibandingkan dengan data di tahun sebelumnya, dalam periode yang sama.
Lebih lanjut, Berli mengakui khusus untuk DBD ini terjadi keterlambatan penanganan oleh Dinkes, pasalnya seluruh tenaga medis sedang fokus pada penanganan Covid-19.
“Artinya, penderitaan DBD ini sedang mengalami keterlambatan dalam penanganan atau mungkin ada ketakutan dari masyarakat berkunjung ke rumah sakit, sehingga pertolongan terlambat,” ujarnya.