Diketahuilah: detak jantung Panji tinggal 40. Diketahui juga SGPT dan SGOT-nya tinggi. Di atas 100.
Lewat perjuangan teman-temannya Panji akhirnya dapat rumah sakit. Ibu-istri-adik pulalah yang membawanya ke RS. Mereka pula yang terus menunggu. Ia harus dibantu alat untuk menambah oksigen.
Tidak juga membaik.
Ketika keadaan terus memburuk Panji tidak mendapat ICU –penuh semua.
Panji meninggal dunia.
Jelas bukan Covid-19.
Maka keluarga Panji minta jenazahnya bisa dibawa pulang segera.
Tidak bisa.
Harus dimasukkan peti. Harus cari peti mati dulu.
Keluarga keberatan dua-duanya: masuk petinya dan harga peti itu –Rp 6 juta. Tapi peraturan tidak bisa diajak kompromi.
Akhirnya rumah sakit mencari peti.
Ups… Kosong. Habis. Terlalu banyak yang harus dimasukkan peti.
Tapi jenazah Panji tetap harus dimasukkan peti. Harus dipesankan. Maka pemesanan dilakukan.
Gagal.
Tidak ada perusahaan peti mati yang siap dengan ukuran badan Panji.
Keluarga pun ngotot untuk bisa membawa jenazah apa adanya. Bisa lebih memenuhi tata-cara Islam –yang tidak perlu dimasukkan peti.
Pihak RS belum bisa menerima keinginan itu. Masih harus dicari jalan lain: harus dimasukkan plastik.
Keluarga akhirnya bisa menerima. Jenazah pun siap dimasukkan plastik.
Gagal.
Tidak ada plastik yang cukup untuk dimasuki jenazah Panji –yang berat badan terakhirnya 150 kg itu.
Terkabullah keinginan keluarga. Untuk bisa membawa pulang jenazah Panji apa adanya. Untuk dimakamkan dalam satu liang dengan ayahnya –yang meninggal dunia 10 tahun yang lalu.
Panji memang keluarga besar. Ia lima bersaudara. Laki-laki semua. Gemuk semua. Si bungsu-pinang-belah-dua-Adit pun 110 kg. Ia 13 tahun lebih muda dari Panji.
Maafkan saya, Panji.(Dahlan Iskan