JAKARTA –Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi II DPR, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dijadwalkan melakukan rapat bersama secara daring untuk mengambil keputusan soal nasib Pilkada Serentak tahun ini.
Anggota KPU RI Hasyim Asyari menyatakan, secara formal ada dua peraturan KPU (PKPU) yang akan disampaikan dalam rapat tersebut. Yakni PKPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada serta PKPU Pelaksanaan Pilkada di Masa Bencana. Keduanya merupakan amanat dari Perppu 2 Tahun 2020.
Sementara itu, untuk kepastian tahapan dimulai, Hasyim menyebut bergantung pada keputusan bersama nanti. Namun, secara prinsip, KPU berharap pilkada bisa dilaksanakan dalam situasi yang normal. ”Bila memutuskan untuk melanjutkan, satu-satunya pertimbangannya adalah kapan Covid-19 aman,” ujarnya dalam diskusi virtual kemarin (27/5).
Pasalnya, keputusan penundaan pilkada juga didasarkan pada kondisi wabah. Berdasar masukan lisan yang diterima KPU dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lanjut Hasyim, keduanya merekomendasikan penundaan kembali. ”Dalam uji publik, Menkes menyarankan pilkada dilaksanakan 2021,” ungkapnya.
Hasyim menambahkan, meski situasinya belum pasti, pihaknya tetap menyiapkan teknis sebagai upaya antisipasi. Berbagai penyesuaian teknis tahapan dengan standar protokol Covid-19 tengah dibahas jajarannya. Mulai yang mendasar seperti pemakaian masker hingga yang terkecil seperti kebersihan alat coblosan.
”Paku (coblosan) bisa jadi alat penyebaran. Kita berpikir alat coblos yang sekali pakai. Tinta dicelup juga rawan, apakah tinta juga diubah jadi disemprot itu dipikirkan,” bebernya.
Hanya, lanjut Hasyim, berbagai perubahan untuk memenuhi protokol Covid-19 tersebut memiliki konsekuensi terhadap anggaran. Sementara tidak semua daerah memiliki kemampuan anggaran yang baik. ”Jika pembiayaan melonjak, apakah diakomodasi atau tidak? Pengalaman KPU dan Bawaslu, membahas biaya dengan pemda biasanya agak berat,” ungkapnya.
Sementara itu, anggota Bawaslu RI Mochamad Afifuddin membeberkan empat kerawanan dalam konteks pengawasan pilkada di masa pandemi. Pertama, money politics sebagai dampak dari kerentanan masyarakat akibat krisis ekonomi. Dalam situasi keuangan yang sulit, jual beli suara potensial terjadi.
Kedua, politisasi bantuan sosial oleh calon petahana. Praktik tersebut sudah banyak terjadi beberapa hari belakangan. Yang ketiga adalah politisasi isu bencana untuk saling serang antarpaslon. ”Bisa jadi ada oknum mengancam, kalau tidak memilih, ya tidak dikasih bantuan. Desa yang tidak mendukung juga tidak dikasih bantuan,” pungkasnya. (jpc/drx)