Kelima, secara gramatikal, UUD tidak mengenai istilah Perppu, namun dalam Pasal 22 UUD 1945 hanya dikenal isilah peraturan pemerintah sebagai pengganti UU, dengan demikian kedudukannya adalah ‘peraturan pemerintah’ ‘sebagai pengganti UU’, jika dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, bahwa “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Maka PP seharusnya merupakan pendelegasian dari UU, namun dalam Pasal 22UUD menyatakan PP sebagai pengganti UU.
Keenam, Pasal 22 ayat 2 UUD, bahwa “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Maka makna persetujuan seharusnya memperhatikan Pasal 20 UUD, sehingga pembahasan Perppu dilakasnakan serupa dengan pembahasan UU.
Dari beberapa potensi problem konstiusional tersebut diatas, maka sebaiknya Badan Kajian MPR, terkait dengan kedudukan perppu, dan kewenangan MK dalam menuji Perppu, apakah perlu secara tegas diatur bahwa MK berwenang menguji UU/peraturan perundang-undangan sederajat terhadap UUD, dan apakah tepat istilah peraturan pemerintah sebagai peggangi undang-undang yang dapat bersinggungan dengan pasal 5 ayat (1) atau sebaiknya dilekatkan kepada pasal 4 yang menjadi original function presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah.
Diskursus wewenang MK dalam rangka menguji Perppu hingga saat ini masih menarik untuk diperbincangkan, meskipun fakta yuridisnya MK telah melakukan pengujian terhadap 9 (sembilan) Perppu, bahkan saat ini Perppu No 1 Tahun 2020 sedang dilakukan pengujian oleh MK. Meskipun kewenangan MK dalam Pasal 24C UUD dirumuskan secara limitative, yaitu Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sehingga dapat dipastikan dalam UUD 1945 tidak mengenal pengujian Perppu oleh MK.
Tidaklah keliru bahwa perubahan UUD dapat dilakukan melalui (1) legislative interpretation, yakni penafsiran otentik atau resmi lembaga pembentuk terhadap sejumlah pengertian dalam undang-undang. (2) melalui judicial interpretation, yaitu penafsiran yang dilakukan oleh lembaga yudisial terhadap ketentuan undang-undang. Namun juga harus seyogyanya efek konstutusionalisme dari penafsiran tersebut harus menjadi sandaran utama, apalagi lembaga penafsir diletakan sebagai penjaga konstitusi (The Guardian of Constitution) yang bemakna segala kewenangannya harus berdasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945. (*)