JAKARTA –Sejumlah pasal dalam Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 dinilai berpotensi melanggar konstitusi dalam prinsip negara hukum.
”Karena itu, fraksi PKS menolak tegas Perppu no. 1 tahun 2020,” kata Wakil Ketua fraksi PKS sekaligus anggota Banggar DPR RI, Netty Prasetiyani, Rabu (6/5/2020).
”Ada ketentuan-ketentuan yang potensial bertentangan dengan konstitusi, utamanya prinsip negara hukum,” sambung Netty Prasetiyani.
Netty mengatakan, penolakan kali ini, fraksi PKS minta Pemerintah agar segera mengganti Perppu no. 1 tahun 2020 dengan Perppu yang baru.
Penggantian draft Perppu ini bertujuan agar tidak ada lembaga, orang, atau pejabat yang ”kebal hukum” yang mengarah pada impunitas dalam Perppu tersebut.
Netty mengurai, ada beberapa pasal di Perppu no. 1 tahun 2020 terutama pasal 27 ayat 2 dan 3 yang menegaskan bahwa anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam hal ini Menteri Keuangan dan pegawainya, sekretariat KSSK dan anggotanya, termasuk Bank Indonesia (BI), OJK, dan LPS yang tidak bisa dijerat hukum dalam melaksanakan perppu.
”Ini menggambarkan pemerintah sedang mempersiapkan upaya abuse of power, melindungi diri bila terjadi kebijakan yang membuat rugi keuangan negara, jelas ini potensi melanggar konstitusi dan berpotensi terjadi moral hazard juga adverse selection,” tandas Netty.
Pemerintah sudah mengumumkan bahwa pandemi Covid-19 di Indonesia sebagai bencana kesehatan masyarakat.
”Dengan anggaran yang besar, prioritas yang digunakan pemerintah seharusnya menyelamatkan manusia dan kesehatan. Sehingga insentif pemerintah terhadap kesehatan dan Jaminan Sosial sangat mendesak dan harus lebih besar dari program pemulihan ekonomi. Saving human lives first, than the economy,” lanjut Netty.
Karena pemerintah tidak menjadikan kesehatan sebagai prioritas, di lapangan ditemukan banyak masalah seperti perlindungan terhadap dokter dan tenaga kesehatan, kebijakan PSBB, ketidakjelasan kebijakan tes, APD dalam negeri tidak terserap, distribusi APD dan alat kesehatan terhambat hingga pencairan dana yang lambat ke daerah.
Selain itu, kebijakan anggaran penanganan Covid-19 tidak memprioritaskan sektor UMKM. Sebab, pemerintah lebih berfokus pada insentif industri dan ekonomi.
”Padahal UMKM Indonesia termasuk sektor paling terdampak Covid-19 namun memberi kontribusi ekonomi yang besar saat normal. Sebut saja, UMKM mampu menyerap hingga 90 persen total tenaga kerja, hingga menyumbang 60,34 persen dari total PDB nasional. Saya harap pemerintah berubah dan memiliki keberpihakan terhadap UMKM,” tutup Netty. (rls)