Fithra menekankan betapa pentingnya aspek institusional, tax reform, labor reform, dan juga infrastruktur dalam membangun perekonomian. Infrastruktur sendiri, katanya, sudah menjadi fokus pemerintah di periode pertama.
“Infrastruktur sebagai cangkangnya. Tapi ini saja tidak cukup, butuh labor dan tax reform. Makanya ketika muncul ide tentang omnibus law, saya sangat mendukung,” katanya.
Perekonomian Indonesia, katanya, butuh pertumbuhan sekitar 6,5 persen sampai 2030. Angka tersebut didapatkan dari pertumbuhan ekspor 9,8 persen per tahun rata-rata, dan hal ini baru terjadi jika Indonesia bisa menggenjot ekspor.
“Kalau kita bisa mencapai tingkat kontribusi industri terhadap perekonomian minimal 22 persen sampai 23 persen dari kondisi sekarang, itu mungkin bisa tercapai. Berarti balik lagi untuk bisa mencapai itu, cara mencapainya adalah bangunan institusional,” katanya.
Fithra mencontohkan, peningkatan industri di Vietnam muncul hasil kerja keras perbaikan perekonomian secara konsisten sejak 25 tahun lalu. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang kebijakannnya berubah setiap pergantian presiden.
“Ganti presiden, ganti kebijakan. Fokusnya pun barubah-ubah, tidak ada jalianan yang berkesinambungan. Jadi ini PR-nya. Seharusnya kalau punya Rencana Pembangunan Jangka Panjang atau RPJP, tetap di RPJP. Tapi ini tidak begitu. Yang ada lebih ke arah bottom-up, jadi yang dikerjakan tahun ini disesuaikan dengan RPJP, ini harusnya bisa minimalisir. Pendekatan omnibus law ini seharusnya bisa lebih seperti itu,” pungkas dia. (yan)