Bandung – Keputusan Badan Legislatif DPR RI untuk melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah situasi bencana nasional menuai reaksi anggota Komisi IX Netty Prasetiyani.
Menurutnya, seharusnya DPR berempati dengan suasana kebatinan masyarakat saat ini. Rakyat sedang bertahan hidup di tengah segala pembatasan dan keterbatasan.
Korban jiwa dan kerugian material semakin bertambah besar. Seharusnya perlu memfokuskan energi untuk mengalahkan pandemic Covid-19, jangan dulu membahas Omnibus Law.
’’Bukankah dalam kondisi normal saja RUU ini sudah banyak menimbulkan kegelisahan dan kepanikan kaum pekerja,” ungkap Netty ketika ditemui di Bandung, Rabu, (15/4).
Menurutnya, pembahasan sebuah rancangan undang-undang harus melibatkan publik, baik pakar, akademisi, praktisi maupun masyarakat yang dapat terdampak dengan diberlakukannya peraturan ini.
“Kenapa harus tergesa? Saya hanya khawatir pemaksaan ini karena ada kepentingan tertentu yang diperjuangkan. Sejak awal RUU ini dimunculkan, saya sudah ingatkan pemerintah agar transparan, berpihak pada kepentingan pekerja dan gunakan pendekatan win-win solution. Jangan sampai ada penumpang gelap yang tidak berbayar tapi mendapat keuntungan besar,” tandasnya.
Menurut Netty, hasil diskusi dan masukan dari berbagai kalangan menunjukkan masih banyak pasal-pasal yang perlu dibenahi, misalnya, menyangkut upah minimum kota/kabupaten, ketentuan pesangon, menjebak kaum buruh dalam status _outsourcing_ seumur hidup, melegalkan tenaga kerja asing tak terdidik masuk ke Indonesia, menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha, hilangnya jaminan sosial bagi kaum pekerja serta memudahkan terjadinya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
Selain itu, kata Netty, pemberlakuan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jabodetabek dan anjuran _stay at home_ membuat masyarakat tidak bisa leluasa beraktivitas dan melakukan pemantauan terhadap pembahasan RUU sensitif ini.
“Jangan sampai pemaksaan pembahasan RUU Cipta Kerja membuat kaum pekerja dan pemangku kepentingan lainnya tidak terserap aspirasinya bahkan kehilangan hak partisipasi politiknya. Ini kan jadi seperti mengebiri demokrasi. Apalagi selama ini telah terjadi gelombang kritik dan penolakan masyarakat dalam bentuk audiensi, jajak pendapat bahkan demonstrasi atau aksi masa,” lanjutnya.
Jika Baleg tetap memaksa melakukan pembahasan, kata Netty, Bagaimana pekerja menyampaikan pendapatnya secara langsung jika keberatan dengan bunyi pasal. Jangankan berdemo, berkumpul lebih dari empat orang saja bisa dibubarkan.