Anda sudah tahu: Amerika Serikat sudah mengalahkan Tiongkok. Dari segi jumlah penderita Covid-19.
Anda sudah tahu: Italia sudah mengalahkan Tiongkok. Dari segi jumlah yang meninggal karena Covid-19.
Mungkin Anda belum tahu: Indonesia sudah mengalahkan Tiongkok. Dari segi jumlah dokter yang meninggal karena Covid-19.
Di Tiongkok dengan jumlah penderita 82.000 orang dokter yang meninggal 6 orang. Di Indonesia, dengan jumlah pasien 1.000 orang, dokter yang meninggal 9 orang.
Tapi di Italia lebih banyak lagi dokter yang meninggal.
Suatu hari, awal Maret lalu, saya menerima kiriman WA seorang teman di Jakarta. Isinya: foto anaknya yang lagi mencoba mengenakan jas hujan. Si anak seorang dokter muda. Dengan prestasi tinggi.
Tidak ada nada mengeluh di WA yang menyertai foto itu. Tapi hati saya serasa tertusuk paku. Itu di Jakarta. Bagaimana di luarnya?
Saya tahu sudah banyak kisah kepahlawanan dokter Indonesia. Yang dengan alat minim bisa menyelamatkan banyak nyawa. Misalnya dokter yang bertugas di Papua. Seperti yang pernah muncul di acara TV, Kick Andy.
Tapi kali ini yang dihadapi dokter adalah wabah. Yang kelasnya tertinggi di antara wabah yang pernah ada.
Jas hujan bukanlah senjata yang memadai bagi dokter.
Lalu saya menerima kiriman banyak foto serupa. Beberapa dokter di Lombok berfoto bersama: dengan seragam jas hujan.
Juga dari Pare, Kediri.
Dari lain-lain lagi.
Saat itu saya lagi di kebun buah milik seorang teman. Lagi di bawah pohon durian. Teman saya pelan-pelan mendekati saya. Takut terjadi sesuatu pada diri saya. Tapi ia tahu. Kami harus menjaga jarak.
Akhirnya ia tahu. Saya lagi mengusap air mata. Yakni setelah membuat video di bawah pohon durian itu. Sahidin, yang selalu mendampingi saya, yang merekamnya.
Hati saya terasa tertusuk melihat dokter mengenakan jas hujan itu. Jas hujan kok untuk menangani wabah yang demikian berat.
Seorang teman lantas melihat video itu. Lalu mengajak saya mencari APD. Kami sama-sama sering ke Tiongkok –beda jurusan. Tapi kali ini dia juga lockdown sukarela.