Jarak antarlandasan itu harus 1 Km. Itulah pula jarak antara dasar No. 1 dan No. 2 di Cengkareng.
Saya tidak tahu benarkah harus begitu. Saya bukan ahli ilmu jarak antarlandasan. Saya hanya mengutip dari yang menjawab begitu.
Tapi saya sangat setuju: keterlambatan pesawat yang keterlaluan di bandara Jakarta harus diatasi.
Langkah-langkah perbaikan pun diinventarisasi. Kapasitas menara pengatur lalu-lintas ditambah. Jika dulu hanya menghadap satu sisi, harus menjadi dua sisi.
”Jalan masuk” dari taxiway ke landasan harus ditambah. Dengan demikian pesawat yang baru mendarat dapat segera menuju luar landasan. Tidak perlu keluar di ujung landasan. Agar pesawat lain bisa terbang atau mendarat.
Dan banyak lagi.
Salah satunya itu tadi: membangun jalan khusus untuk menyambung ujung timur No.1 dan ujung timur landasan No.2.
Itu untuk menambah perpindahan pesawat di bandara.
Tujuan yang diharapkan adalah: agar bandara Jakarta dapat mendukung Bandara Heathrow, London. Atau bandara lain di kota-kota besar dunia.
Bandara Heathrow juga hanya memiliki dua landasan. Tidak perlu membangun landasan No. 3.
Saat saya terbang dari Heathrow tahun lalu sekali lagi saya amati.
Apa yang terjadi di Heathrow?
Sederhana: satu bidang dikhususkan untuk pesawat yang turun. Satu landasan lagi khusus untuk pesawat terbang.
Tidak saling menunggu antara yang mau terbang dan akan turun.
Dengan cara sehingga biaya naik-naik pesawat bisa naik 30 persen. Tidak perlu membangun landasan No. 3. Pun tidak perlu biaya Rp 50 triliun.
Tapi saya tidak mampu mewujudkan jalan khusus itu. Pemilu sudah dekat. Waktu saya pun habis.
Ada kendala teknis waktu itu: jalan khusus ini harus menerobos tepat di Hotel Sheraton. Masa sewa tanah bandara untuk Hotel belum habis.
Maka saya salut dengan pemerintahan berikutnya. Zaman Pak Jokowi. Jalan khusus itu akhirnya terwujud. Saya sangat ingin tahu: bagaimana teknis ”menerobos” Hotel Sheraton itu bisa diatasi.