JPPI juga mengkritik kebijakan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2019 Tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menghapus Dirjen PAUD dan Pendidikan Masyarakat. Ini, kata Ubaid, bukti bahwa pemerintah hanya mengutamakan pendidikan formal dan menganaktirikan pendidikan nonformal.
Ubaid menjelaskan selama ini banyak kaum rentan dan marginal yang mengakses pendidikan nonformal. Maka, dengan dihapuskannya Dirjen PAUD Dikmas ini, keberlangsungan pendidikan rakyat kecil atau kelompok marginal terancam.
”Dan jauh dari cita-cita lifelong learning yang menjadi arus utama dalam target-target SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan), khususnya tujuan keempat tentang kualitas pendidikan,” tegasnya.
Dan yang menjadi sorotan terakhir adalah Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang menjadi program unggulan Presiden Joko Widodo. JPPI menilai KIP ini bagus dan dibutuhkan masyarakat. Sayangnya, banyak kejadian KIP tidak tepat sasaran.
Berdasarkan catatan JPPI selama 2019 ada 303 pengaduan masyarakat terkait program KIP. Tercatat kasus yang paling banyak diadukan adalah ketidaktahuan cara mendapatkan KIP sebanyak 79 aduan.
Disusul distribusi yang tidak merata sebanyak 61, data KIP tidak transparan dan mudah diakses 55 aduan, keterlambatan pencairan 43 aduan, KIP tidak tepat sasaran sebanyak 30, pengusulan data siswa miskin tidak terbuka 20 aduan, dan tidak ada keterlibatan publik 16 aduan.
”Harusnya pemerintah belajar dari tahun-tahun sebelumnya untuk mempermudah akses dan transparansi pengelolaan KIP ini, supaya masyarakat bisa terlibat, transparan, dan tepat sasaran,” kata Ubaid.(bbs/ziz)