BANDUNG – Banyaknya stigma negatif di masyarakat terkait kaum disabilitas serta banyaknya hak mereka yang belum terpenuhi, menjadi keprihatinan banyak orang. Sehingga, dinilai perlunya edukasi terhadap masyarakat Terakait advokasi terhadap kaum disabilitas.
Hal tersebutlah yang melatarbelakangi pembuatan film yang menggunakan teknologi Virtual Reality atau VR dan dihadirkan oleh Forum Film Dokumenter (FFD). Dalam film tersebut diceritakan potret kehidupan kaum disabilitas.
Project officer FFD, Alwan Brilian mengungkapkan, film dokumenter yang dihadirkan dalam VR ini memiliki tujuan agar penonton mampu merasakan langsung dan melihat dari sudut pandang difabel.
”Kita ingin audiens juga merasakan dan seolah menjadi subjek di dalam film. Dengan begitu penonton bisa merasakan realitas yang lain pengalaman menonton yang lain, menarik diri sejenak untuk masuk ke tubuh yang lain (sudut pandang difabel). Sehingga nama program ini kami sebut dengan The feeling of reality,” ungkap Alwan, di lokasi pemutaran film di Bandung, baru-baru ini.
Menurutnya, sejauh ini masih sangat sedikit film yang mengangkat isu disabilitas. Hal itu, lanjutnya, menjadi sebuah tantangan pihak FFD untuk menghadirkan sebuah film dokumenter disabilitas dalam VR.
”Berkaca pada tahun lalu, ada beberapa film yang mengangkat film tentang disabilitas dan modelnya memang film dokumenter. FFD melihat bahwa secara tidak langsung film ini mentrigger dan menyadarkan kita bahwa ada beberapa orang penyandang disabilitas tapi memang tidak mendapatkan perlakuan yang setara,” ujarnya.
Untuk konsep dan rancangan film, Alwan mengaku, FFD bekerjasama dengan beberapa pihak dan akhirnya menemukan salah satu alternatif yaitu dengan Virtual Reality (VR).
”Kami berasumsi dengan adanya VR dan menggunakan VR mungkin antara penonton dengan film akan lebih dekat,” ucapnya.
Dia menjelaskan, pembuatan film ini dilakukan di empat wilayah, diantaranya Jakarta, Jawa Tengah, Sumbawa dan Bandung. Dengan karakter yang berbeda dari keempat wilayah tersebut, maka dia menilai sangat menarik.
”Perbedaan mulai dari sistem sosial yang ada di kampung, struktur sosialnya juga, menjadikan difabel sebagai stigma yang buruk justru semakin memperparah keadaan mereka. Itu kami temukan di Sumbawa. Jadi sangat penting dan sangat banyak juga kompleks, kita tidak bisa menyamaratakan apa yang terjadi di Sumbawa dengan apa yang terjadi di Semarang, Jawa Tengah. Jadi memang perlu ada sesuatu hal yang lebih kontekstual,” jelasnya.