GELIAT formasi kementerian Koalisi Indonesia Kerja (KIK) sudah semakin terang benderang pasca pelantikan Presiden tgl 20 Oktober 2019 kemarin, Tarik menarik kepentingan politik sudah sangat pulgar diantara partai politik dengan berbagai gaya gerakan untuk meminta sejumlah kemenetrian, sehingga banyak yang berpendapat bahwa system presidensil kita rasa parlemen, meskipun kurang tepat jika dimaknai demikian.
Sejumlah partai politik sebenarnya punya hak mendapatkan formasi kementerian, meskipun tidak secara konstitusional akan tetapi lebih pada dimensi pendekatan etis dan tidak etis, memang benar bahwa Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa mengangkat dan memberhentikan Menteri adalah hak prerogative presiden akan tetapi jika membacanya dirangkaikan dengan Pasal 6A ayat (3) parpol dan/atau gabungan parpol yang mempunyai hak konstitusional mengusulkan Presiden, dengan demikian sah-sah saja jika presiden memperhatikan dan mempertimbangkan formasi kementerian dari Parpol.
Kementrian saat ini dipastikan juga mengakomodasi konfigurasi politik beberapa partai diluar koalisi Pilpres, konon kabarnya dalam rangka menyatukan kehendak untuk membangun lebih cepat NKRI dan dalam rangka menjaga ke-Bhinekaan akibat polarisasi kontestasi politik 2019, sehingga KIK jilid ke-2 Jokowi ini harus banyak mengambil peran konsolidasi untuk menegakkan NKRI dan menjalankan amanah UUD 1945 yang dalam Alinea Ke-empatnya ditegaskan bahwa kewajiban negara untuk memberikan perlindungan masyarakat (social defence) dan menciptakan kesejahteraan masyarakat (social welfare) yang di bingkai melalui sila-sila harus diwujudkan dalam narasi kebangsaan.
Dengan demikian, tidak diharamkan jika Jokowi – Ma’aruf meracik kementeriannya berdasrkan refresentasi parpol meskipun bukan bagian dari koalisi pilpres, sehingga narasi ini diharapkan dapat menyadarkan pada kita, bahwa momentum kontestasi politik berakhir maka berakhir pulalah kompetisi politik, saat ini yang harus dilakukan adalah segera secara bersama-sama membangun Indonesia kedepan lebih baik tanpa dibayang-bayangi polarisasi yang ditimbulkan dalam momentum pilpres dan pileg.
Kritikan itu adalah adab dalam negara demokrasi, anti kritik adalah karakter otoritarisanisme, sehingga kritikan yang bersifat konstruktif yang diiukti oleh rekomendasi alangkah lebih indah dibangun dalam formasi kementerian yang multi partai, sehingga kritikan terhadap pemerintahan bukan hanya otoritas oposan diluar pemerintan, sah-sah saja kritikan itu dibangun dalam bingkai KIK asal tidak destruktif.