CIMAHI – Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Cimahi menyebutkan, survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tidak akan menjadi acuan untuk penetapan Upah Minimum Kota (UMK) tahun 2020.
Sebab, formula penghitungan upah tahun depan masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang diakumulasikan dengan nilai inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
”Suvey KHL sudah bulan kemarin. Nilainya belum keluar, dan itu bukan patokan kenaikan UMK,” kata Sekretaris Disnakertrans Kota Cimahi, Asep Herman saat dihubungi melalui sambungan telepon, Minggu (20/10).
Meski begitu, pihaknya tetap melakukan survey KHL yang sudah dilaksanakan bulan lalu. Hasilnya pun akan dibahas dengan Dewan Pengupahan Kota Cimahi pada 25 Oktober mendatang.
UMK tahun depan sendiri dipastikan mengalami kenaikan dibandingkan tahun ini. Kepastian itu didapat setelah Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menaikan UMK sebesar 8,51 persen untuk tahun 2020.
Upah minimal pekerja di Kota Cimahi sendiri tahun ini Rp 2,8 juta lebih per bulan. Jika kenaikannya 8,51 persen, artinya upah para pekerja di kota administratif ini diperkirakan mencapai Rp 3 juta lebih per bulannya.
”Penetapan masih menggunakan PP 78 seperti tahun kemarin,” terangnya.
Namun untuk besaran pasti UMK di Cimahi tahun depan, lanujtnya, ada sejumlah tahapan yang harus dilakukan oleh pihaknya. Seperti rapat pleno dengan Dewan Pengupahan Kota Cimahi yang rencananya akan dilaksanakan 14 atau 16 November mendatang.
Hasil dari rapat pleno tersebut akan diusulkan kepada Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna. Kemudian diusulkan oleh Wali Kota kepada Gubernur Jawa Barat. Penetapan upah sendiri akan diputuskan Gubernur Jawa Barat 21 November mendatang.
”Penetapan UMK-nya tanggal 21 November melalui SK Gubernur,” terang Asep.
Perihal survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL), lanjut Asep, kemungkinan tidak akan menjadi acuan kenaikan UMK. Sebab, dasarnya masih menggunakan PP Nomor 78 Tahun 2015 plus inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi.
Ketua DPD Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jawa Barat, Dadan Sudiana mengatakan, setiap tahun sebenarnya para buruh menolak standar kenaikan UMK menggunakan PP Nomor 78 Tahun 2015. Sebab aturan itu tidak menyertakan survey KHL.
”Sebenarnya kita menolak karena tidak mempertimbangkan kehidupan kehidupan layak pekerja,” tegasnya.