JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan hasil kajian pinjaman daerah untuk pembangunan infrastruktur kepada jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, tujuan dilakukannya pengkajian adalah untuk memberikan rekomendasi guna menutup celah potensi korupsi dalam siklus pinjaman daerah. Karena meski regulasi pinjaman daerah relatif ketat, menurut Febri, dalam praktiknya masih berpeluang terjadinya tindak pidana korupsi.
“Salah satunya, kasus suap yang ditangani KPK untuk memperoleh persetujuan DPRD atas pinjaman daerah yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi Lampung. Permasalahan tersebut menjadi landasan KPK melakukan kajian ini,” ujar Febri kepada wartawan, Selasa (15/10).
Febri menyatakan, pesatnya kebutuhan pembangunan infrastruktur di daerah menjadi penyebab meningkatnya permohonan pinjaman. Hingga akhir Mei 2019, kata dia, tercatat 19 pemerintah daerah (pemda) telah melakukan perikatan pinjaman dengan PT Sarana Multi Infrastrktur (SMI). Total pinjamannya menyentuh angka Rp3,2 triliun.
Tak hanya itu, pinjaman juga diajukan melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD) dengan total senilai Rp2,6 triliun.
“Sejak 2016 juga tercatat lebih dari 50 pemda telah mengajukan permohonan rekomendasi kepada Kemendagri untuk dapat memulai proses peminjaman. Semakin lama tren permohonan tersebut semakin meningkat,” tutur Febri.
Direktur Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK Wawan Wardiana menjelaskan, pemetaan kajian yang dilakukan timnya dilakukan menggunakan metode observasi. Observasi berupa wawancara dengan narasumber berasal dari institusi yang menjadi objek kajian serta pihak-pihak relevan.
Wawan menambahkan, instansi yang menjadi fokus kajian pihaknya terbagi dalam tiga kategori. Yaitu instansi pusat yang terdiri dari Kemendagri dan Kemenkeu; instansi daerah yakni Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung, Pemerintah Kota (Pemkot) Tebing Tinggi, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gianyar, Pemkab Demak, serta Pemkab Konawe Selatan; dan BPD yang meliputi entitas BPD Jawa Tengah, BPD Sumatera Utara, dan BPD Sulawesi Tenggara.
Analisa juga dilakukan terhadap PT SMI selaku pihak termohon pengajuan pinjaman.
“Hasil kajian memetakan sejumlah permasalahan dalam siklus kebijakan pemerintah daerah,” tutur Wawan.
Permasalahan tersebut antara lain, pertama, pemerintah daerah tidak menyiapkan dokumen perencanaan yang memadai atas kegiatan yang dibiayai dari sumber pinjaman. Kedua, pemerintah daerah melakukan maksimalisasi penggunaan dana pinjaman untuk pekerjaan yang berada di luar lingkup perencanaan. Ketiga, lemahnya pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan pinjaman daerah.