Citilink menggugat Sriwijaya ke pengadilan. Soal kerjasama mereka yang kandas.
Tanggal 19 Oktober nanti akan mulai disidangkan.
Saya bisa memahami langkah anak usaha Garuda Indonesia itu.
Juga tidak bisa memahaminya.
Dengan menggugat, Citilink setidaknya selamat. Secara prosedur.
“Kami sudah mengambil langkah hukum” –kalimat seperti itu penting bagi perusahaan plat merah.
“Sudah mengambil langkah hukum” adalah kata pamungkas. Untuk menghadapi pemeriksaan BPK. Atau pemeriksaan-pemeriksaan lainnya.
Apakah langkah hukum itu yang terbaik bagi perusahaan itu soal lain.
Orang bisnis biasanya menjauhi langkah hukum. Repotnya bukan main. Hasilnya belum tentu baik. Bisa sama-sama jadi abu.
Tapi bagi perusahaan seperti Citilink hasil bukan yang terpenting. Prosedur lebih penting.
Itulah bagian yang saya bisa memahami.
Dan itulah bagian yang sangat saya benci.
Juga dibenci oleh semua enterpreneur.
Tapi bagi eksekutif perusahaan seperti Citilink keselamatan diri mereka lebih penting dari keselamatan perusahaan.
Misalkan hasil di pengadilan itu nanti Citilink kalah. Eksekutifnya tetap selamat. Prosedur sudah diambil. Kalah adalah konsekuensi saja dari sebuah prosedur.
Bahwa akibat kekalahan itu Citilink –secara perusahaan– harus rugi itu soal lain. Toh ketika kerugian itu harus dibayar, eksekutifnya sudah tidak duduk di sana lagi. Tidak ikut merasakan kerugian itu.
Di perusahaan swasta beda. Ketika menghadapi hal yang sama para pihak pilih berunding habis-habisan.
Kalau perlu saling mengalah.
Kecuali yang terjadi di Surabaya. Antara dua pengusaha besar Tionghoa. Yang sampai hati memasukkan partnernya ke tahanan.
Tapi Citilink akhirnya juga mencabut gugatan. Meski itu lebih atas perintah induk perusahaannya: Garuda Indonesia. Dan Garuda atas arahan atasannya lagi.
Manajemen Citilink lebih selamat lagi. Ketika menggugat ia selamat. Ketika mencabut gugatan ia juga selamat.
Dalam urusan ini Citilink kelihatannya memang hanya pelaksana. Kerjasamanya dengan Sriwijaya pun tampaknya bukan inisiatif Citilink.
Awalnya kan sangat jelas: Sriwijaya punya utang ke anak perusahaan Garuda: GMF. Utang dagang biasa: Sriwijaya memperbaiki semua pesawatnya di GMF.
Biaya pemeliharaan itu ada yang belum dibayar. Termasuk juga biaya perawatan pesawat milik NAM Air –anak usaha Sriwijaya.