SOREANG – Dalam momen hari tani Nasional ke 59 tahun 2019, ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat menggelar aksi di depan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung.
Dalam orasinya mereka menyampaikan beberapa tungtutan diantaranya menuntut kepada Bupati Bandung Dadang M.Naser memberikan sikap tegas mengenai nasib petani teh di Pangalengan. Pasalnya, petani teh di Pangalengan dipaksa untuk menanam tanaman kopi yang sebetulnya para petani tidak mengerti teknis penanamannya.
Sekjen Gerakam Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cimahi, Lingga Pangestu mengatakan, pemerintah dalam hal ini Pemkab Bandung melalui aparatur negaranya memaksa petani teh di Pangalengan menanam kopi. Hal ini dijadikan skema untuk menyesuaikan komoditi pasar.
“Yang jadi masalah, teman-teman tani ini tidak memahami cara menanam kopi. Tapi lucunya dipaksa untuk menyesuaikan komoditi pasar,” katanya saat ditemui disela-sela aksi unjuk rasa.
Menurutnya, para petani di Pangalengan itu selama ini tidak pernah mendapatkan bimbingan teknis (Bimtek) dari dinas pertanian terkait bagaimana cara menanam kopi. Tentu saja, ujar Lingga, hal ini membuat para petani di Pangalengan kebingungan.
“Petani berhak atas apa yang akan mereka perbuat di lahan mereka. Tidak boleh dipaksa. Ini menyalahi reforma agraria sejati yang pernah dilakikan Bung Karno di tahun 1960,” kata dia.
Lingga menjelaskan, jika Bupati Bandung tidak mau menemui dan menepati tuntutan para pengunjuk rasa, pihaknya berjanji akan datang kembali dengan ekskalasi massa yang lebih banyak lagi. Massa juga akan memblokade Jalan Alfathu sebagai bentuk kekecewaan terhadap Bupati Bandung.
Menurut Lingga, salah satu yang terjadi di Pangalengan adalah segelintir nasib petani di Indonesia. Nasib petani di Indonesia yang sejatinya adalah mayoritas penduduk asli Indonesia justru hidup dalam kemiskinan. Padahal, masih banyak petani di Indonesia yang memiliki lahan yang cukup. Oleh karena itu, Aliansi Rakyat Menggugat juga menyuarakan penolakan terhadap undang-undang pertanahan.
“Secara garis keturunan, masyarakat kita itu kelas tani. Tapi anehnya para petani justru miskin. Kebutuhan sehari-hari tidak tercukupi. Maka dari itu kami menolak undang-undang pertanahan dan ingin mengembalikan ke konsep reforma agraria sejatinya Bung Karno,” katanya.