JAKARTA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memandang para pembuat Undang-Undang (UU) lupa membenahi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pasalnya, UU Nomor 10 Tahun 2016 yang dijadikan dasar pelaksanaan Pilkada, membuat kewenangan Bawaslu lemah dibandingkan kewenangan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Pemilu.
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, padahal kewenangan lengkap Bawaslu dalam pemilu terinsipirasi dari UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau biasa disebut UU Pilkada. Dia menyebut, UU Pilkada ini yang pertama mengatur pengawas di setiap TPS, lantas diadopsi dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Termasuk pula mengenai penguatan Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) yang juga terinspirasi UU Nomor 10 Tahun 2016.
“Tapi ternyata pembentuk UU lupa membenahi kepentingan pemilu, melupakan kepentingan pilkada. Sementara pemilu tidak disatukan dengan pilkada,” ujar Dewi di Jakarta, Selasa (17/9) . Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu ini menegaskan, apabila rezim tersebut sudah disatukan dalam rezim pemilu, tentu pelaksanaan pilkada mengacu kepada UU Pemilu.
Dewi menyatakan, dalam melaksanakan tugas fungsi dan kewenangan lembaga, ada tiga hal penting yang harus menjadi acuan. Pertama, dasar melaksanakan kewenangan. Kemudian bagaimana kewenangan itu dilaksanakan berkaitan dengan tata cara prosedur dan mekanisme. “Ketiga, berkaitan dengan substansi. Apakah setiap tindakan yang kita lakukan seperti mengeluarkan rekomendasi, putusan itu bersifat konstitutif,” paparnya.
Dewi menekankan, masalah ini harus dibedah semua pihak agar setiap proses yang dilakukan bisa menjamin kualitas pelaksanaan demokrasi. Lalu jaminan perlindungan, serta hak konstitusional kepada pemilih maupun hak konstitusional bagi peserta pilkada.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso mengungkapkan, memang ada masalah dalam kerangka hukum pemilu. Padahal kerangka hukum harusnya jelas, tidak mutitafsir, tidak ada kekosongan hukum serta tidak ada tumpang tindih.
Topo menegaskan, kerangka tersebut adalah suatu standar pertama dalam standar pemilu internasional. Di seluruh dunia, lanjutnya, pemilu dikatakan demokratis bila standar utamanya adalah kerangka hukum yang jelas. “Kalau sekarang masih ada ‘gap’ antara UU Nomor 7 Tahun 2017 yang merupakan semacam kodifikasi UU pemilu dengan UU Nomor 10 Tahun 2016. Berkaitan dengan pemilihan, ada dua nomenklatur satunya pemilu satunya pemilihan. Ini orang luar negeri membaca bingung. Karena bagi mereka semua ini election,” pungkasnya. (khf/fin/rh)