BANDUNG – Forum Komunikasi Serikat Pekerja/Buruh Kota Bandung menolak keras rencana revisi Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebab, revisi aturan tersebut dinilai merugikan para pekerja maupun buruh.
Koordinator Forum Komunikasi Serikat Pekerja/Buruh Kota Bandung Hermawan mengatakan, isu rencana revisi undang-undang ketenagakerjaan telah membuat resah para tenagakerja/buruh di Kota Bandung.
Oleh sebab itu, pihaknya kata dia, meminta DPRD Kota Bandung secara seksama menolak rencana revisi aturan tersebut.
Sehingga, legislatif maupun eksekutif sama-sama menolak rencana revisi undang-undang ini.
’’Kami minta agar DPRD mengeluarkan surat rekomendasi penolakan,’’ ujar Hermawan, saat audensi dengan DPRD Kota Bandung, di Ruang Rapat Paripurna, Selasa (20/8).
Hermawan menduga, renacana revisi undang-undang tersebut bakal mempersempit hak-hak para pekerja khusunya mengenai pesangun yang akan dihapuskan.
’’Kalau aturan itu direvisi bisa jadi adanya pengurangan pesangon, bahkan akan dihilangkan. Hal-hal seperti itu sangat merugikan tenagakerja,’’ ungkapnya.
Di sisi lain, Hermawan menyebut, bahwa undang-undang tersebut sudah mengalami revisi sebanyak 30 kali.
“Berarti ini kan ada yang enggak sehat sampai direvisi hingga 30 kali. Baru mau direvisi lagi,” keluhnya.
Dia menyebut, jumlah pekerja maupun buruh di Kota Bandung lebih dari 160 ribu orang. Sementara serikat pekerja/buruh yang ikut audensi kali ini terdiri dari sembilan organisasi.
“Jumlah pekerja/buruh di Kota Bandung lebih dari 160 ribu. Kalau datang ke sini semua enggak bakalan muat gedung dewan ini,” kata Hermawan.
Ketua DPC Federasi Serikat Buruh Garmen Kerajinan Tekstil Kulit dan Sentraindustri Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (FSB Garteks KSBSI) Kota Bandung Agus Saefudin merincikan, setidaknya terdapat lima poin isu rencana revisi Undangan-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pertama, mengenai upah. Struktur skala upah ini dinilai hanya memperhatikan golongan dan jabatan saja. Sementara komponen pendidikan, masa kerja dan kompetensi tertunda. Agus melanjutkan, upah minimum tidak ditentukan oleh Kepala Daerah tetapi ditentukan oleh Pemerintah Pusat.
Sedangkan upah sektoral dikeluarkan pemerintah namun tidak ditentukan nominalnya. Penentuan upah sektoral tersebut atas persetujuan dari para pengusaha dan pekerja.