NGAMPRAH– Aksi saling dorong disertai kericuhan mewarnai eksekusi lima unit rumah untuk trase Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung di Kampung Tegallaja RT 01/RW 04, Desa Sukatani, Kecamatan Ngamprah, Kamis (15/8). Kericuhan terjadi antara warga pemilik rumah dengan petugas eksekusi dari Pengadilan Negeri Bale Bandung (PNBB) yang datang bersama aparat TNI/Polri dan Satpol PP.
Para pemilik lahan berusaha menghadang para petugas yang hendak membongkar rumah mereka. Mereka keukeuh tetap bertahan di rumah karena tidak mau rumahnya dibongkar dan dikosongkan. Petugas yang tidak ingin jalannya eksekusi terhambat, kemudian merangsek dengan mendesak mundur pemilik lahan hingga sempat terjadi saling dorong di dalam gang masuk menuju lima rumah tersebut.
Salah seorang pengacara dari pihak warga, Ony Djogo yang dikuasakan oleh warga bernama Herni Heriyanti dan Neni Hayati/Eem menilai, eksekusi yang dipaksakan telah melanggar hak asasi manusia (HAM). Prosesnya juga cacat hukum karena ada yang dilanggar, seperti bukti musyawarah penetapan harga tidak pernah ada, keterangan yang dibuat palsu, dan ada intimidasi karena warga dipaksa untuk menandatangani berita acara tanpa musyawarah.
“Kami mempertanyakan soal proses yang tidak mencerminkan keadilan bukan penetapan harga (nilai) yang kami persoalkan. Atas eksekusi ini kami akan layangkan surat ke Presiden dan Komnas HAM, untuk diteruskan ke Komisi HAM dunia, bahwa ini potret hukum di Indonesia yang sesungguhnya,” ungkap Ony di sela eksekusi.
Pengacara lainnya, Fahmi yang diberi kuasa oleh Atang Salim, Deden Rohendi, dan Teulis Rohaeti, mengatakan, warga tidak pernah diajak konsinyasi atau musyawarah terlebih dahulu. Tiba-tiba muncul harga yang ditetapkan sepihak untuk membayar luas lahan milik tiga kliennya seluas 712 meter persegi tersebut.
“Ini cacat hukum dan tidak bisa dilanjutkan, apalagi pembacaan eksekusi dilakukan bukan di objek perkara. Luas lahan 712 meter persegi dihargai Rp 6 miliar untuk tanah, bangunan dan ganti rugi nonfisik,” ujar Fahmi.
Fahmi melanjutkan, padahal ada sisa tanah yang tidak masuk ke dalam trase Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung milik tiga kepala keluarga tersebut, seluas 133 meter persegi yang tidak ikut dibayar. Hal itu jelas merugikan karena lahan tersebut berpotensi tidak terpakai sehingga warga dirugikan.