“Tulis dong soal pidato Bu Mega di Bali”.
“Tidak mau”.
“Menarik lho pak. Apalagi kalau DI’s Way yang menulis”.
“Politik. Sensitif,” balas saya.
“Soal Sengon 1 Triliun itu kan juga sensitif. Kan tidak apa-apa”.
“Anda kan tidak merasakan,” kata saya.
Saya tidak terpengaruh. Tetap bertekad untuk tidak menulis pidato Bu Mega itu. Tapi penasaran. Benarkah menarik. Seperti apakah menariknya.
Saya pun buka YouTube. Di tempat yang jauh sekali dari Bali ini –lokasi kongres ke-5 PDI-Perjuangan itu. Saya ingin tahu: seberapa menarik pidato ketua umum partai pemenang pemilu itu. Untuk diri saya sendiri.
Ternyata memang menarik. Terutama siapa saja tokoh yang hadir. Siapa yang duduk di sebelah siapa. Bagaimana mimik wajah mereka –saat mendengar pidato itu. Dan terutama apa saja yang diucapkan oleh Bu Mega. Lebih terutama lagi yang di luar teks.
Terlihat jelas bahwa suasana kebatinan Bu Mega lagi happy. Bercampur sedikit geram. Juga ada rasa was-was.
Raut wajahnya cerah. Seperti lega –telah memenangkan pemilu yang berat. Rasanya Bu Mega lebih cantik dibanding awal tahun lalu –ketika lebih dua jam saya diskusi bertiga dengan Bu Mega.
Dua kali –dalam pidato itu– Bu Mega menyebut dirinya memang cantik. Sebagai wanita. Bukan hanya sebagai politisi.
Untuk yang terakhir itu beliau mengimajinasikan dirinya sebagai titanium. Bukan lagi baja –istilah yang dulu sering dipergunakan bapaknya: Bung Karno.
Di zaman Bung Karno istilah titanium memang belum populer. Belum biasa dipakai secara umum.
Kelebihan titanium adalah –kata Bu Mega– keras, solid tapi tidak kaku. Tidak seperti baja. Titanium bisa lentur. “Kalau titanium itu dipakai memukul orang, yang dipukul tidak terasa. Tahu-tahu jatuh. Yang dipukul juga tidak tahu siapa tadi yang memukul”.
Begitu kira-kira inti kalimatnya.
Mendengar kalimat itu publik bisa langsung berimajinasi –siapa ya yang baru saja dipukul dengan titanium Mega itu. Dan siapa yang dipakai sebagai titanium untuk memukul itu.
Istilah lain yang juga muncul dalam pidato itu adalah: kesabaran revolusioner.