JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jawa Barat (Jabar) Iwa Karniwa dan mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang Bartholomeus Toto dalam dua perkara yang berbeda. Perkara tersebut merupakan hasil pengembangan kasus suap perizinan megaproyek Meikarta di Kabupaten Bekasi, Jabar.
Iwa Karniwa menjadi tersangka kasus dugaan suap pembahasan substansi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi tahun 2017. Sedangkan Bartholomeus Toto ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta.
Dalam perkara terdahulu, KPK menetapkan sembilan tersangka. Mereka adalah Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas PMPTSP Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi sebagai penerima suap.
Sedangkan tersangka pemberi suap adalah Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, dua konsultan Lippo Group Fitra Djaja Purnama dan Taryadi, serta pegawai Lippo Group Henry Jasmen.
“Setelah mencermati fakta-fakta yang berkembang dalam proses penyidikan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup tentang keterlibatan pihak lain dalam dua perkara dugaan tindak pidana korupsi,” ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Senin (29/7).
Dalam konstruksi perkara, Saut menjelaskan, mulanya Neneng Rahmi menerima sejumlah uang terkait pengurusan Perda RDTR Bekasi pada 2017. Uang tersebut kemudian ia berikan kepada beberapa pihak yang bertujuan untuk memuluskan proses pembahasan Perda tersebut.
Pada April 2017, kata Saut, Neneng Rahmi diajak Sekretaris Dinas PUPR Bekasi untuk bertemu pimpinan DPRD di Kantor DPRD Kabupaten Bekasi.
“Pada pertemuan tersebut Sekretaris Dinas PUPR menyampaikan permintaan uang dari pimpinan DPRD terkait pengurusan (Perda) tersebut,” ucap Saut.
Setelah disetujui DPRD, sambung Saut, Raperda RDTR mesti melalui pembahasan di Pemprov Jawa Barat sebelum disahkan. Namun, Raperda tersebut tidak segera dibahas oleh Kelompok Kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (Pokja BKPRD).