BANDUNG – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) setuju dengan wacana Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil untuk melakukan perombakan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Jabar. Perombakan ini demi efisiensi peningkatan kualitas SMK.
“Kalau yang kecil-kecil memang sebaiknya dimerger toh kan ada SMK yang jumlah siswanya berapa gitu ya. Itu ya lebih baik dimerger. Jangan memaksakan,” kata Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Supriano di Jakarta, Rabu, (24/7).
Banyaknya jumlah SMK yang tak sebanding dengan kualitas lulusannya. Ditambah, satu SMK hanya memiliki jumlah peserta didik yang minim tanpa memperhatikan aspek kompetensi dan kualitas lulusannya.
“Ada jurusan yang memang sudah tidak pas. Kemudian kalau SMK kecil jangan hanya meluluskan siswanya, tapi tidak mempunyai kompetensi,” ujar Supriano.
Kompetensi guru di SMK pun perlu perhatian khusus. Masih banyak SMK yang minim guru dengan kualitas dan kompetensi khusus. Kebijakan perombakan diiringi dengan perbaikan dan peningkatan kualitas guru.
“Misalnya, guru ekonomi, dia juga bisa mengajar di rumpunnya IPS apa saja. Makanya, ini pelan-pelan kompetensi guru SMK kita perbaiki,” tuturnya.
Sementara itu untuk mengevaluasi SMK di Jabar Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menjalin kerja sama dengan perusahaan pendidikan multinasional Inggris yang fokus pada pendidikan kejuruan, Pearson.
“Jadi, Inggris ini punya sistem pendidikan vokasi yang bisa di-copy di beberapa negara. Mereka menggunakan sistem yang disebut TVET (Technical Vocational Education and Training),” kata Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil usai menggelar pertemuan dengan sejumlah konsultan pendidikan Pearson di London, Inggris, Selasa (23/7).
Menurut Emil –demikian Ridwan Kamil disapa–, para konsultan pendidikan kejuruan dari Pearson rutin menggelar pertemuan dengan kalangan industri. Pertemuan tersebut, kata dia, membahas soal keahlian terbaru yang dibutuhkan industri.
“Drone saja ada SMK-nya di Inggris. Satu-satunya di dunia yang punya SMK drone di sini,” ucapnya.
Situasi tersebut, kata Emil, berbeda dengan SMK di Indonesia. Menurutnya, ada banyak jurusan SMK yang tidak memperhatikan kebutuhan industri.
“Jangan-jangan kurikulumnya tidak nyambung dengan kebutuhan industri. Ini yang akan kita evaluasi. Kita minta bantuan mereka