Meski begitu, Samudi menyatakan, hal tersebut tak menjadi kebanggaan bagi kepolisian, malah menimbulkan keprihatinan. Kesedihan itu muncul karena masih banyak masyarakat yang menggunakan media sosial untuk hal negatif.
“Kita bukan bangga melakukan penangkapan, tapi kami justru sedih karena masih banyak masyarakat yang menggunakan media sosial untuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, provokasi, yang tujuannya membuat keonaran,” ucap Samudi.
Saat ditanyakan profesi tersangka, Samudi pun membeberkan, bahwa tersangka merupakan Oknum pengajar disalah satu universitas swasta.
“Tersangka merupakan dosen disalah satu universitas swasta di Kota Bandung,” ujarnya.
Akibat aksinya, tersangka dijerat Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dirinya terancam hukuman penjara maksimal 10 tahun.
Sementara itu, tersangka ujaran kebencian yang berinisial, SDS mengaku tidak ada niatan untuk menyebarkan postingan yang menimbulkan keonaran di media sosial.
“Jangan sampai ada benturan antara polisi dengan warga. Saya hanya takut jika terjadi benturan, jangan sampai terjadi, karena saya orang tua, tidak mungkin saya menginginkan ada benturan antara polisi dengan rakyat,” kata SDS.
SDS yang juga seorang pengajar di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Bandung, tidak menepis apa yang dilakukan adalah kesalahan. Padahal, dirinya kerap mengajarkan kepada mahasiswanya untuk selalu mengecek terlebih dahulu kebenaran sebuah berita.
“Mungkin ini kesalahan saya. Padahal saya mengajarkan kepada mahasiswa untuk cek dan ricek bila ada berita, namun saya malah tidak melakukannya. Saya bersumpah tidak ada motif apapun dalam kejadian ini,” pungkas dia (mg1/yul/yan)