Dirinya mengaku sempat merasa sakit hati saat ada tukang parkir yang mencoba membantunya. Tapi, ia bisa mengambil hikmah dari kejadian itu dan termotivasi untuk bangkit.
Uwes pun terbesit untuk membuka usaha agar mandiri secara finansial, dimulai dari kios pulsa dan aksesoris pakaian. Meski bisnis yang dirintisnya itu kandas. Hingga akhirnya ia diberi ide oleh seorang Babinsa dan Dadi Rosida untuk membuka warung kopi.
”Saat itu saya mengajak Wildan untuk merintis usaha warung kopi. Saudara saya (Wildan) juga merasakan diskiriminasi. ia beberapa kali mencoba bekerja di pabrik, tapi lamarannya selalu ditolak,” ungkapnya.
Di warung kopi difabel tersebut, keduanya membuat program bayar kopi seikhlasnya setiap hari Jumat.
”Saya ingin mengambil berkah di hari Jumat, menurut kami itu waktu yang tepat untuk berbagi kepada sesama,” ujarnya.
Syaratnya, kata Uwes, pengunjung tinggal menyebutkan secara jujur bahwa tidak memiliki uang. ”Kalau misal punya uang seribu tapi ingin minum kopi ya bisa, kami siap melayani, asal jujur saja,” jelasnya.
Selain itu, keduanya juga ingin melihat bagaimana respon dari masyarakat terhadap pergerakan difabel yang ingin mandiri. Dan terbukti respon dari masyarakat di sekitar warung kopinya sangat positif.
Keduanya pun sangat terbuka ketika ada kaum difabel yang ingin datang dan berbagi pengalaman. ”Kami juga ingin berbagi motivasi kepada sesama, kami selalu punya motto jangan malu dengan keadaan, tapi malulah kalau badan tegak tapi hati lumpuh untuk bergerak,” ungkapnya.
Warung kopi difabel tersebut buka setiap pukul 06.30-20.00 WIB. Warung itu beroperasi berdampingan dengan usaha cuci motor yang dikelola oleh mereka. Selain tersedia kopi, warung kopi ini juga menghidangkan cemilan dan merchandise Persib Bandung. (drx)