Pandangan seperti itu pula yang disampaikan para mahasiswa Indonesia yang bertemu saya di Lahore malam itu (DI’s Way:Masyaallah). “Sektariannya sangat kenceng,” ujar Fahmi Wira Angkasa. Ketua PPMI Pakistan. Yang mahasiswa hukum Islam di universitas yang sama dengan kampusnya Ustadz Shamsi Ali itu.
“Kalau saya dari dulu tidak pernah melihat jika Islam akan maju dengan keadaan Pakistan. Malah ada refleksi negatif…seolah Islam itu keras, emosi, terbelakang, dan lain-lain,” ujar Ustadz.
“Kok dulu, waktu kuliah di sana, tidak ketularan keras?” tanya saya.
“Sempat ketularan pak,” jawabnya. “Saya dulu, pertama sampai di Amerika, banyak menyalah-nyalahkan….,” katanya.
Lalu Ustadz Shamsi Ali berubah pandangan. Awalnya ketika bertetangga dengan seorang Katolik keturunan Irlandia. Si Katolik selalu menyapanya dengan ramah. “Lambat laun saya mengubah pilkiran bahwa non Muslim itu bukan musuh. Tapi partner dalam kebaikan,” katanya.
Tentu saya ke Pakistan juga sambil melihat-lihat: apakah ada peluang bisnis di sana. Sekedar melihat. Siapa tahu ada ‘lubang’ dagang.
Saya juga bertemu beberapa orang Tiongkok di Lahore. Atau di Karachi. Yang juga hanya melihat-lihat peluang.
“Kenapa melihat peluangnya di sini. Kok tidak di Indonesia?” tanya saya.
“Di sini aman,” jawab pengusaha itu.
Ia orang asli Shantou, kota pantai di Provinsi Guangdong. Di Tiongkok ia punya bisnis pengolahan plastik. Ia merasa Pakistan aman.
Aneh. Bin ajaib.
Tapi saya paham. Hubungan baik antara Tiongkok dan Pakistan dirasakan sampai masyarakat luas. Kedua negara itu diibaratkan “teman di segala musim”.
Bahkan mahasiswa asing terbanyak di Pakistan pun berasal dari Tiongkok. Jumlah mahasiswa dari Indonesia hanya 285. Yang dari Tiongkok lebih 1.500 orang. Umumnya kuliah di ushuludin atau syariah.
“Saya sering jumpa mereka. Cita-cita mereka umumnya ingin jadi imam masjid di Tiongkok,” ujar Ali Muhtadin. Ia mahasiswa ushuludin. Asal Bojonegoro. Yang alumni Persis Bangil.
Makanya, tahun-tahun belakangan ini saya lihat perubahan itu. Setiap ke masjid di Tiongkok imamnya sangat muda.
Di Pakistan, orang seperti saya pun dikira dari Tiongkok. Di mana saja saya disapa: ‘ni hao’. Termasuk oleh anak-anak kecil yang lagi sok berani berbahasa Mandarin.