Ridlwan mengatakan, setelah aksi penangkapan dan bom bunuh diri di Sibolga, sebenarnya jejaring sel tidur ini mulai dibongkar kembali. “Seperti tersangka Husen di bom Sibolga kemarin, ia direkrut oleh jaringan lama yang kemudian kembali untuk merekrut orang. Dan ini sebenarnya, deradikalisasi para narapidana teroris di penjara belum selesai ,” terangnya.
Disinggung seberapa kuat jaringan ini ada di Indonesia, Ridlwan mencoba menganalisa 30 tahanan narapidana teroris dari Sumetera yang dibebaskan. “Misalkan ada sepertiga dari 30 orang yang kembali ke jaringan, atau secara kasar 10 orang. Lalu diantara mereka kemudian menyebar mencari 10 orang, jadi ada kemungkinan ada 100 orang yang terpapar ideologi ekstrim ini. Baik putra maupun putri,” jelasnya.
Ridlwan mengatakan, karakteristik JAD adalah menggunakan bom dengan sangat praktis dan mobile (bisa dibawa kemana saja). Baik dimasukan ke ransel, tas atau alat pembungkus lainnya. Dan biasanya bom ini berciri Low Explosive (daya ledak rendah), namun tetap berbahaya. “Seperti contoh di Sibolga, dua orang ibu dan anak tewas,” katanya.
Menurut Ridlwan, pelaku wanita bom bunuh diri Sibolga menjadi bukti bahwa kelompok wanita lebih rentan untuk melakukan terorisme. Berbeda dengan persepsi awam orang saat ini, bahwa aksi teror merupakan pekerjaan maskulin. “Padahal kita tahu dalam jaringan itu ada istrinya, anak perempuanya yang sama-sama lebih radikal ideologinya,” katanya.
JAD yang beafiliasi dengan ISIS, sambungnya, membuat polisi mulai bekejaran dengan waktu karena mendekati pemilu yang terhitung tinggal 15 hari lagi. Karena itu, penangkapan jaringan Sibolga dan Bandung sangat strategis, karena di situ polisi menemukan dan membongkar sel-sel tidur lainnya. “Mereka adalah ancaman yang sangat nyata, polisi saya kira sudah profesional dan mampu secara cepat mengungkap jaringan,” tandasnya.
Sementara itu, pemilik kontrakan yang didiami WP alias Sahid, Ikke Solihah 25 membenarkan Densus 88 melakukan penggerebekan sekitar pukul 22.00 WIB.
Dia menceritakan, WP alias Sahid berniat mengontrak kamar dengan menemui bapaknya yang kebetulan tinggal dibelakang kontrakan.
“Dia, (Sahid, red) pertama datang pada tanggal 21, malam-malam ke Bapak mau ngontrak. Terus nyodorin (Fotocopy) KTP dan uang sebesar Rp 700.000 untuk sebulan. Bilangnya dari Bali mau cari tempat usaha di Cimahi tapi belum nemu. Kata bapak orangnya keliatan nyantri,” ungkap Ikke saat ditemui di kontrakan miliknya di Desa Bojong Malaka di Kampung Pulo, Senin (1/4).