Eka kembali akan mengandalkan kepercayaan. Sebagai modal utamanya. Dia datangi perusahaan dagang negara. Peninggalan Belanda. Seperti Geowehry. Dia minta barang. Bayar belakangan. Minta waktu dua minggu. Seperti pembayaran yang dijanjikan tentara.
Ternyata dua minggu tidak ada pembayaran. Satu bulan tidak ada. Satu bulan setengah juga tidak. Eka datang ke Geowehry. Minta maaf. Menceritakan apa adanya. Membawa semua berkas dan tagihan. Dia ceritakan apa adanya. Tidak ada yang disembunyikan.
Setelah lewat dua bulan pembayaran cair. Sekaligus. Banyak sekali. Eka menjadi banyak uang lagi. Utangnya pun lunas.
Eka menjadi akrab dengan tentara. Tentara juga begitu. Merasa Eka orang yang berjasa. Kesempatan pun terbuka. Eka boleh memanfaatkan kapal tentara. Yang pulang ke Makassar dalam keadaan kosong. Setelah mengirim tentara ke Manado.
Eka pun memuatinya dengan kopra. Yang melimpah di Manado. Dengan harga murah. Dia jual di Makassar. Dengan harga tinggi.
Jadilah Eka pedagang kopra. Dia sering pergi ke Manado, Palu, Toli-toli, Maluku. Pusat-pusat kopra ia kuasai.
Dia pun sudah berani carter kapal. Untuk kirim kopra dari Manado ke Surabaya dan Jakarta. Jaringan dagangnya kian luas.
Suatu saat dia sudah mengumpulkan 3 ribu ton kopra di Manado. Dia carter kapal besar dari Jakarta. Untuk ukuran saat itu.
Ketika kapal tiba pecahlah pemberontakan Permesta. Terjadi perang. Eka menyelamatkan diri. Kopra 3 ribu ton dia tinggal. Kapal carterannya kembali ke Surabaya hanya membawa dirinya.
Eka bangkrut untuk keempat kalinya.
Dia tidak mau lagi tinggal di Makassar. Dia ingin pindah Surabaya. Di daerah yang lebih aman. Yang memungkinkan bisnis berkembang.
Di Surabaya Eka ditampung di kamar temannya. Ukuran 2 x 3 meter. Dia hanya membawa modal kepercayaan. Dan nama baik.
Dia pun menghadap Pangdam Brawijaya, Mayjen Basuki Rahmat. Diizinkan pula mengisi kapal tentara dengan barang dagangannya. Kapal itu berangkat ke Sulawesi membawa bahan makanan. Balik ke Surabaya kosong. Hasilnya dibagi dua: tentara mendapat 25 persennya.