Eka mencari pengantre bayaran. Tujuh orang. Satu bulan bisa mendapat 10 ton. Eka pun merinci. Berarti satu orang antre di 40 tempat sehari.
Eka menjadi kaya kembali. Dia berani membeli mobil. Rp 70 ribu harganya. Tapi harus inden. Mobilnya baru tiba enam bulan kemudian.
Saat itulah temannya kesusahan. Perlu uang. Menyerahkan mobilnya. Hanya dengan harga Rp 30 ribu. Jadilah Eka punya dua mobil. Menjadi orang yang sangat terpandang.
Waktu meninjau bekas sekolahnya dulu sang kepala sekolah sendiri yang membukakan pintu mobilnya. Eka banyak menyumbang ke sekolah itu.
Lalu terjadilah perang kemerdekaan. Keadaan kacau. Jalur logistik putus. Pasukan bahan baku macet. Eka bangkrut lagi. Untuk ketiga kalinya.
Sekali lagi Eka tidak mau meninggalkan utang. Dia sangat yakin kepercayaan adalah modal terpenting. Dengan kepercayaan dia yakin pasti bisa bangkit lagi. Kelak.
Dia jual yang bisa dijual cepat. Termasuk dua mobil kebanggaannya. Dia kembali naik sepeda.
Saat bangkrut yang ketiga itulah Eka merasa sangat sakit. Bukan soal hidup susah lagi. Tapi soal harga diri. Orang yang dulu membukakan pintu mobilnya pun tidak mau menyapanya lagi. Bahkan melengos saat disapa.
Dia sampai malu keliling Makassar dengan sepedanya. Dia merasa semua jari menuding ke mukanya.
Eka tidak tahan lagi. Dirinya merasa terhina. Dia pun minggat dari Makassar. Menuju Malino. Daerah pegunungan sekitar 60 km dari Makassar. Dia menghabiskan waktu di situ. Dengan membaca. Dia memang gemar membaca.
Enam bulan Eka retreat di Malino. Barulah hatinya dingin. Dia kembali ke Makassar. Ingin mengerjakan apa yang bisa dikerjakan.
Waktu itu, awal 1950, TNI mengerahkan banyak pasukan ke Makassar. Untuk menumpas pemberontakan Andi Aziz. Dan Kahar Muzakar. Tentara kekurangan logistik. Para pedagang tidak mau menjadi pemasok. Khawatir pembayarannya macet.
Eka mendengar itu. Mau. Satu-satunya yang mau jadi pemasok. Dia punya logika sendiri. ”Ini kan tentaranya pemerintah. Pemerintah sendiri. Sudah merdeka. Pasti punya uang. Kalau pun tidak kan bisa cetak uang. Kan negaranya sendiri,” pikirnya.