Eka Tjipta (2)

Eka mencari pengantre bayaran. Tujuh orang. Satu bulan bisa mendapat 10 ton. Eka pun merinci. Berarti satu orang antre di 40 tempat se­hari.

Eka menjadi kaya kembali. Dia berani membeli mobil. Rp 70 ribu harganya. Tapi harus inden. Mobilnya baru tiba enam bulan kemudian.

Saat itulah temannya kesu­sahan. Perlu uang. Menyera­hkan mobilnya. Hanya dengan harga Rp 30 ribu. Jadilah Eka punya dua mobil. Menjadi orang yang sangat terpandang.

Waktu meninjau bekas se­kolahnya dulu sang kepala sekolah sendiri yang mem­bukakan pintu mobilnya. Eka banyak menyumbang ke se­kolah itu.

Lalu terjadilah perang ke­merdekaan. Keadaan kacau. Jalur logistik putus. Pasukan bahan baku macet. Eka bang­krut lagi. Untuk ketiga kalinya.

Sekali lagi Eka tidak mau me­ninggalkan utang. Dia sangat yakin kepercayaan adalah mo­dal terpenting. Dengan keper­cayaan dia yakin pasti bisa bangkit lagi. Kelak.

Dia jual yang bisa dijual ce­pat. Termasuk dua mobil kebanggaannya. Dia kem­bali naik sepeda.

Saat bangkrut yang ketiga itulah Eka merasa sangat sakit. Bukan soal hidup susah lagi. Tapi soal harga diri. Orang yang dulu membukakan pintu mobilnya pun tidak mau menyapanya lagi. Bahkan melengos saat disapa.

Dia sampai malu keliling Makassar dengan sepedanya. Dia merasa semua jari me­nuding ke mukanya.

Eka tidak tahan lagi. Dirinya merasa terhina. Dia pun ming­gat dari Makassar. Menuju Malino. Daerah pegunungan sekitar 60 km dari Makassar. Dia menghabiskan waktu di situ. Dengan membaca. Dia memang gemar membaca.

Enam bulan Eka retreat di Malino. Barulah hatinya dingin. Dia kembali ke Makas­sar. Ingin mengerjakan apa yang bisa dikerjakan.

Waktu itu, awal 1950, TNI mengerahkan banyak pasukan ke Makassar. Untuk menum­pas pemberontakan Andi Aziz. Dan Kahar Muzakar. Tentara kekurangan logistik. Para pe­dagang tidak mau menjadi pemasok. Khawatir pembay­arannya macet.

Eka mendengar itu. Mau. Satu-satunya yang mau jadi pemasok. Dia punya logika sendiri. ”Ini kan tentaranya pemerintah. Pemerintah sen­diri. Sudah merdeka. Pasti punya uang. Kalau pun tidak kan bisa cetak uang. Kan ne­garanya sendiri,” pikirnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan