Ternyata laku. Kopinya selalu habis. Lalu ibunya ia minta bikin ayam rebus. Ayam putih. Disajikan bersama kopi.
Ayam putihnya itu tidak laku. Dia panik. Modal beli ayam itu yang terbesar. Bukan kopi. Justru tidak laku.
Dia kepepet. Nekat. Dia datangi komandan Jepang. Ia minta mencicipinya secara gratis. ”Saya beri sepotong saja. Tidak berani memberi banyak. Takut ayamnya habis tanpa mendapat uang,” guraunya.
Harapannya terkabul. Sang komandan menyukainya. Anak buahnya membeli. Tiap hari ayam putihnya habis.
Tapi tujuannya bukan jualan ayam. Yang utama cari modal. Untuk bisa mengangkut rongsokan-rongsokan yang menggunung itu.
Halaman rumahnya pun penuh rongsokan. Juga tanah kosong di sebelah rumahnya. Besi-besi diluruskan. Seng-seng diratakan. Terigu yang kelihatan terbakar dibuka. Bagian luarnya dibuang. Terigu yang masih baik dikumpulkan. Karung dicuci. Dikeringkan. Untuk mewadahi terigu yang masih baik.
Semen-semen yang sudah membatu ditumbuk. Yang masih baik dikumpulkan. Dikarungi lagi. Persoalannya: terigu bekas harganya murah.
Maka Eka mempelajari cara menjahit karung. Yang bisa sesempurna jahitan pabrik. Agar dikira semuanya masih baru.
Dia beli jarum di toko. Dia praktikkan cara menjahit karung yang baik. Berhasil.
Terigu dia jual. Setiap hari. Semen tidak dia jual. Tunggu momentum. Toh dari jualan terigu sudah cukup untuk bisa hidup.
Lalu dia pelajari: untuk apa orang beli semen. Ternyata banyak yang dipakai untuk membangun kuburan. Kuburan Tionghoa.
Eka pun mencari siapa tukang makam terbaik. Dia ajak joint. Dia beri ‘saham’ 20 persen. Hasilnya menggembirakan. Dalam setahun bisa membangun delapan makam. ”Bagian depan makam dekat bandara Makassar itu saya semua yang bangun,” katanya.
Nilai semennya lebih tinggi daripada dijual dalam bentuk semen. Dari bisnis barang rongsokan itu Eka bisa menabung Rp 20.000. Waktu itu harga sebuah rumah tembok Rp 1.000. Stok rongsokannya pun habis. (*)