Beliau-beliau yang kita jumpai di Youtube dan Instagram itu, tentu tidak diragukan lagi peluh keringatnya belajar nun jauh dari tanah air tersayang. Di antara mereka ada yang belajar bertahun-tahun di Arab Saudi, Aljazair, Libya, Maroko, Mesir, Sudan, Suriah, dan sekitarnya. Wajar, di sanalah pertama kali ilmu berkembang pesat. Universitas pertama di dunia diketahui adalah Universitas Al Qarawiyyin di Maroko. Namun demikian, belajar tidak hanya belajar. Belajar mesti fokus dan tajam ke dalam. Jika terkait orang banyak, kita mesti berbicara keahlian. Tapi karena sifat dasar manusia, akan selalu ada prinsip; ‘tenang, saya bisa jelaskan semuanya’.
Muncullah keresahan, kesalahpahaman, atau ketidaktahuan yang bahkan tidak kita ketahui juga. Masyarakat kadangkala tidak mengetahui sanad sang penceramah. Untuk mengamankan diri, ada baiknya kita kembali terpaut pada kompetensi keilmuan tadi. Setidaknya, mereka yang fokus mengkaji satu ilmu itu bekerja sesuai dengan prinsip ilmu pengetahun; going deep, bukan going wide.
Jadi menyimak ceramah tidak hanya sekadar menyimak. Mari menyesuaikan dengan kebutuhan kita. Jika butuh perspektif Alquran, ketiklah Quraish Shihab, doktor tafsir yang kita ceritakan tadi. Jika butuh perspektif hadis, ketilah Abdul Somad, ilmu hadis dari Maroko. Jika mau menggali dari segi bahasanya, ketiklah Adi Hidayat, bidang lughah dari Libya. Dan sebagainya dan seterusnya.
Dari ulama-ulama di pesantren kami dulu, dari Mesir juga; mereka seringkali menjelaskan; beliau-beliau yang dari Timur Tengah itu juga punya keahlian masing-masing. Belajarnya juga beda-beda. Di negara yang berbeda. Jadi yang strata 1 dan strata 2 di bidang as siysah (politik), bukan tak boleh, tapi tentu tidak bisa kita kejar lebih jauh mengenai fikih. Yang magisternya bidang al q (natural sciences), tentu tidak bisa juga kita paksakan jawaban utuh mengenai ilmu-ilmu al anfs (social sciences) atau di bidang tasawwuf.
Adapun yang agak ekstrim, sampai-sampai di tolak di lingkungan pesantren, tentunya kurang mampu menyesuaikan kondisi Timur Tengah dengan kondisi negara kita Indonesia. Sekali lagi, pemahaman kontekstual. Penceramah mesti belajar sosiologi, linguistik dan budaya sebelum berdiri tegap di mimbar-mimbar. Contoh paling tenar untuk kita teladani adalah proses penyebaran agama Islam di tanah air yamg masuk dengan berbagai macam cara; musik, pertunjukan, karya seni, upacara adat, dan tentu saja dengan sikap dan tutur yang manusiawi, yang santun.