Karena gerakan sosial, kata dia, unsur yang ada di JQR lebih banyak masyarakat umum ketimbang ASN. Pemerintah, kata dia, hadir sebagai support system yang menggerakkan. Melakukan penindakan, hingga membantu dari sisi pengganggaran.
”Tidak hanya itu, crowdfunding (urunan dana) seperti kitabisa.com juga bisa dilibatkan. Tidak hanya dari CSR dan anggaran pemerintah. Dengan kata lain, perorangan juga bisa membantu mereka yang membutuhkan,” urainya.
Untuk diketahui, saat ini beberapa daerah seperti Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang dan Kuningan sudah memiliki kanal quick response. Lantas kenapa daerah lain belum membuat kanal yang sama?
Hanief mengungkapkan, setiap daerah memiliki masalah berbeda-beda. Mulai dari minimnya anggaran, buruknya infrastruktur dan lain sebagainya. Padahal, jika dikomunikasikan dan dikolaborasikan, kekurangan tersebut bisa tertolong dengan koordinasi.
Sementara itu, Wakil Ketua JQR Reza Arfah mengatakan, inisiasi JQR tidak lepas dari program yang pernah dijalankan Ridwan Kamil saat menjabat Wali Kota Bandung. Dulu, kata dia, pria yang akrab disapa Kang Emil tersebut kerap menerima beragam aduan ke media sosial miliknya. Dari aduan tersebut, kerap di-forward ke asisten pribadi atau dinas untuk segera ditindaklanjuti.
”Kadang, Kang Emil yang mengeluarkan anggaran sendiri untuk membantu masyarakatnya. Kang Emil hadir di tengah-tengah masyarakat,” kata Reza.
Dan sekarang, ketika Kang Emil memimpin Jawa Barat otomatis kapasitas dan jangkauan pun semakin luas. Tidak lagi bicara 30 kecamatan seperti di Kota Bandung. Tapi 27 kabupaten/kota se-Jawa Barat. ”Jabar Quick Response ini negara ingin hadir. Ini niat baik. Tapi tetap membutuhkan proaktif masyarakat,” jelasnya.
Pria yang tujuh tahun lebih berkecimpung di kegiatan kemanusiaan tersebut mengatakan, JQR bisa menjadi kanalisator untuk kota/kabupaten lain di Jawa Barat. Butuh inisiatif politik dari para pemimpin daerah agar bisa berjalan di kabupaten/kota.