Bawa Semangat Persahabatan dan Perdamaian

Opan yang juga filolog lu­lusan Unpad itu, mengangkat buku ini berdasarkan naskah yang ditulis oleh Pangeran Arya Carbon. Dalam naskah diberitakan mengenai keda­tangan rombongan Cheng Hwa selama tujuh hari tujuh malam. Dan yang terpenting saat itu dalam rombongan juga turut serta seorang ula­ma dari Negeri Champa.

Di mana Champa ini meru­pakan pangkalan penting Dinasti Ming. Dinasti yang berkuasa saat Laksamana Ceng Ho melakukan ekspedisi. Da­lam naskah Pangeran Carbon itu, ulama itu disebut Syekh Hasanudin yang disebut Syekh Quro oleh masyarakat pri­bumi, karena ahli membaca Quran.

Namun ada nama yang juga melegenda saat kedatangan Cheng Ho, yakni Ma Hwuan dan juga Ki Ageng Thapa. Ma Hwan ini menjadi salah seo­rang yang mencatat perjalanan Ceng ho.

”Banyak yang perlu digali lagi. Seperti apa yang dilaku­kan Ceng Ho saat berlabuh di Cirebon selama tujuh hari itu. Apakah hanya membeli komoditas hasil bumi dari singhapura beras gula kopi air bersih, saja?” ungkapnya.

Namun yang paling besar peninggalan Cheng Ho salah satunya pembangunan mer­cusuar di Pelabuhan Muara Jati. Reruntuhannya masih ada di area Gunung Jati yang disebut puser bumi oleh ma­syarakat setempat.

”Sejak dibangun itu banyak sekali kapal armada asing di Cirebon. Kerajaan Singha­pura juga dikenal kualitas kayu jatinya,” katanya.

Makanya selama singgah armada Cheng Ho juga me­nyempatkan memperbaiki kapal-kapal yang rusak ka­rena hantaman ombak dan badai. Dari situ banyak anak buah yang tertarik, ada yang menikah dan tidak pulang. Makanya ada salah satu per­kampungan sambung yang menjadi kampung pemukiman Tionghoa.

Sayangnya, Prof Wan Ming yang merupakan Profesor of History Institute of Executive President and Secretary Ge­neral batal hadir mengikuti seminar tersebut. Namun seminar itu sampai pada se­buah rekomendasi. Untuk membentuk tim panitia peng­galian peninggalan Cheng Ho. Ini juga berlaku di daerah lain seperti, Aceh, Palembang, Banten, Semarang, Tuban, dan kota lainya.

Tinggalkan Balasan