”Halangan pertamanya, ide. Kedua, takut salah menempatkan titik dan koma. Kemudian, kata kerja dan menerangkan tempat. Urusan salah mah belakangan. Yang penting idenya dulu ditulis,” urainya.
Dia menilai, persoalan titik koma akan terkikis oleh self editing. Sebab, seseorang yang sungguh-sungguh akan sadar akan kesalahannya jika membaca kembali lembaran yang dia tulis.
Tak lupa, dia pun selalu berdiskusi dan meminta penilaian yang objektif prihal setiap buku yang akan diterbitkan. Ketika mendapatkan kritik, dia tidak mutung. Dia catat, lalu diperbaiki.
Dan kini, dalam dua tahun, lebih dari sembilan buku yang sudah diterbitkan oleh istri dari Suhendar, pekerja swasta itu. Beberapa di antaranya merupakan naskah kedinasan yang tidak di-publish untuk umum. Salah satunya yang dilampirkan dalam portofolio persyaratan penghargaan.
Dua tahun aktivitas ini juga yang membuatnya dipanggil ke Istana untuk mendapatkan Satya Lencana Pendidikan Berprestasi dari Presiden, Sabtu (25/11) mendatang. Nia menjadi satu dari 22 orang finalis se-Indonesia yang dipanggil Presiden Joko Widodo setelah pada 1 November lalu diterbitkan dalam Keputusan Presiden nomor: 120/tk/Tahun 2018. Salah satu syaratnya, pernah mendapatkan penghargaan setingkat menteri.
”Penghargaan tersebut diberikan setelah melihat portofolio peserta. Jadi tidak bermodal satu sertifikat dari menteri (dari OGN 2016, red). Yang dinilai justru apa yang kita lakukan setelah kita juara,” tuturnya.
Makanya, dia pun sungkan menularkan ilmunya kepada teman-temannya di sekolah. Digoda, ditantang, dijejali virus menulis itu gampang.
Nia tidak percaya dengan bakat. Apalagi yang diturunkan. Menulis, bagi dia hanya keterampilan. Semakin diasah makin tajam. (rie)