Dari beberapa yang mampu, kata dia, lebih memilih homeschooling. Secara umum, kata dia, homeschooling memang hampir sama dengan Sekolah Jabar Juara. ”Sekolah Jabar Juara ini sama regular. Yang membedakan hanya pelaksanaannya lebih fleksibel. Bisa belajar di masjid, di madrasah, pondok pesantren dan ruang-ruang yang paling memungkinkan dilakukan kegiatan belajar mengajar,” papar Hadadi kepada Jabar Ekspres di ruang kerjanya, belum lama ini.
Dia menekankan, Sekolah Jabar Juara bukan program swasta. Tapi, istimewanya, kata dia, Sekolah Jabar Juara ini bisa dihadirkan oleh sekolah negeri atau swasta. ”Secara legal formalnya, ijazah anak tetap kepala sekolah reguler,” tegasnya.
Hadadi berharap, Sekolah Jabar Juara tidak sampai turun grade karena pembelajarannya lebih fleksibel. Tapi karena kegiatan belajar mandiri, maka pembelajaran bisa menggunakan modul online atau pun manual. ”Sebenarnya, serba dimudahkan. Yang sulit memang memotivasi anak tersebut supaya mau melanjutkan pendidikan,” ucapnya.
Di balik banyaknya faktor yang mendorong putus sekolah, Hadadi mengungkapkan, penjaringan siswa Sekolah Jabar Juara lebih panjang. Malah dikatakan terakhir setelah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan seleksi swasta.
”Jadi bukan akal-akalan. Dan karena panjangnya waktu, maka Dinas Pendidikan punya banyak waktu juga untuk menyisir ke daerah-daerah untuk kita tampung,” ujarnya.
Sebelumnya, Hadadi memaparkan, lulusan Sekolah Menengah Terbuka mencapai 36 ribu siswa. Tahun ini, kata dia, ditargetkan mencapai 39 ribu siswa dari 27 kabupaten/kota.
”Meski demikian, realisasi kami baru mencapai 15 ribu. Ini tentu jadi tugas kami untuk lebih giat lagi menjaring siswa di Sekolah Jabar Juara,” jelasnya sambil menambahkan, sebelum 2017 (diresmikan, Red), siswa sekolah menengah terbuka hanya 2.000 orang.
”Tentu kami juga evaluasi. Diharapkan, tidak mengurangi keseriusan kami memajukan pendidikan,” ucapnya.
Di tengah banyaknya rintangan Sekolah Jabar Juara, Hadadi berharap, orangtua juga ikut berperan untuk mendorong siswa kembali belajar. Sebab, selama ini ada anggapan mau sekolah atau pun tidak sekolah, sama saja.
”Ini yang perlu diubah. Memang perlu upaya lebih besar menyosialisasikan ini kepada orangtua. Terutama menekankan bahwa sekolah itu wajib. Dan ini juga untuk masa depan siswa tersebut,” ucapnya lagi.