Menurutnya, menjadi santri adalah menjadi pribadi yang religius dan nasionalis. Untuk itu, Jokowi berharap semangat itu terus dijaga, terutama di masa pesta demokrasi.
Jokowi mengingatkan kepada semua bahwa Indonesia adalah rumah yang perlu terus dirawat dan dijaga oleh kita semua. ”Siapa yang menjaga? Salah satunya para santri,” katanya.
Jokowi menegaskan, Indonesia adalah negara yang besar. Yang di dalamnya banyak perbedaan, seperti suku, agama, adat, bahasa dan tradisi. Perbedaan ini merupakan anugerah tuhan yang membuat Indonesia kaya dan saling melengkapi.
”Karena itu, jangan sampai ada hal kecil seperti momen pesta demokrasi membuat persatuan terpecah belah,” katanya.
Sementara itu Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum menyebutkan Kemerdekaan bangsa Indonesia tak bisa lepas dari peran dan perjuangan para Kyai. Mereka sangat berjasa dalam membangun karakter bangsa.
”Apalagi para kyai, itu berjasa terhadap bangsa dan negara dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya,” kata Uu.
Menurutnya, pesan yang disampaikan seorang pendiri bangsa WR Supratman dengan kalimat ‘Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya’, itu menunjukkan bahwa sebelum membangun badan, maka harus diawali dengan pembangunan jiwa.
”Jadi sebelum membangun badan, bangun dulu jiwanya. Dan yang membangun jiwa adalah para Kyai,” tutur Uu.
Di sisi lain, kata dia, kepedulian pemerintah terhadap jasa para Kyai kurang. Seakan jasa-jasa mereka dilupakan dan sirna di mata masyarakat. Pemerintah lebih memfokuskan diri membangun fisik, infrastruktur dan sarana lainnya. Sementara, terhadap peningkatan kualitas jiwa (keimanan dan ketakwaan) kurang dianggap penting.
”Kenapa kalau jembatan dibangun, yang lain dibangun, sementara untuk peningkatan keimanan dan ketakwaan tidak ada kode rekening,” kata Uu.
Momentum HSN, hendaknya dijadikan langkah awal untuk memperbaiki arah pembangunan bangsa. Tidak hanya berorientasi pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga diimbangi dengan pembangunan karakter bangsa.
”Oleh karena itu saya berharap, dimasa yang akan datang kami perhatikan. Dan yang buat saya sakit hati, pesantren disebut pendidikan non formal. Itu yang membuat saya sakit. Kenapa SD, SMP yang disebut pendidikan formal, sementara pesantren tidak? padahal pesantren itu memiliki silabus, memiliki kurikulum, memiliki cara dikdaktik cara mengajar. Pelajarannya juga jelas, dari tingkatan-tingkatan. Ada pelajaran ibtida’, ada tsanawi, ada ma’had ali, ada tes setiap enam bulan dan yang lainnya. Tapi kenapa disebut pendidikan non formal?,” pungkasnya. (rep/yud/rmol/ign)