Jakarta – Situasi menjelang pilpres 2019, semakin banyak didominasi saling sindir program atau kebijakan dari para tokoh politik dan elit partai di negeri ini.
Yang terbaru, yakni sindiran dari Ketua Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurto Yudoyono atau akrab disapa AHY.
Dalam demokrasi, partai di luar pemerintahan (penyeimbang / oposisi) memiliki pijakan kuat, baik dari sisi konstitusional maupun tradisi demokrasi untuk memberikan kritik kepada penguasa. Dengan kata lain, masukan atau kritik dari AHY tentang program-program pemerintah yang kurang sukses, merupakan fenomena lumrah, normal dan bagian dari dialektika berbangsa.
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Dosen FISIP Universitas Al Azhar Indonesia, Zaenal A Budiyono menyatakan bahwa pernyataan Ketua Kogasma PD, yang digadang-gadang sebagai Capres / Cawapres dari PD, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengkritik program “Revolusi Mental” Jokowi yang menurutnya semakin tidak terdengar. Program pembangunan manusia itu gaungnya justru dikalahkan oleh deru pembangunan jalan tol dan jembatan.
“Pandangan politik AHY dan keluarga besar PD tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran SBY, sang ikon PD. Menilik perjalanan SBY, ia merupakan politisi yang mengedepankan pembangunan manusia, sebelum pembangunan fisik termasuk infrastruktur. Hal itu dapat dilihat dari “rekor” APBN era SBY yang untuk pertama kalinya mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan,” jelas A Budiyono, Sabtu (16/6).
Dirinya menambahjan, bahkan untuk menjamin sustainability anggaran yang fokus pada pembangunan SDM itu, diamankan melalui UU.
“Dari sini kita bisa melihat bahwa secara substansi, AHY dan PD cukup terganggu dengan terseok-seoknya program Revolusi Mental Jokowi yang sebelumnya diharapkan dapat mengubah kultur lama yang negatif di bangsa ini, menjadi energi positif,” jelasnyam
Indikatornya yakni, bisa dilihat di dunia maya, dimana sejak 2014 sampai saat ini, netizen seolah terbelah antara kubu Jokowi dan Prabowo. Cacian dan hujatan semakin hari bukannya menurun, justru menunjukkan grafik yang mengkhawatirkan.
“Padahal sebelumnya social media diharapkan membawa perdebatan cerdas dan sportif yang sebelumnya hanya ada di kampus, menjadi bisa dinikmati banyak kalangan, khususnya generasi milenial,” jelasnya.