Calon-Calon alternatif, ada TGB, Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, Habib Rizieq, kelompok Islam. Tokoh2 yang bukan dari Partai?
“Banyak tokoh-tokoh, ruang publik tidak hanya Jokowi dan Prabowo. Tapi dari sekian banyak calon, nantinya akan mengkristal. Karena mau tidak mau akan memusat ke salah satu poros. Tapi bukan berarti tidak berpeluang. Karena dinamika politik sangat cair,” paparnya.
Misalnya TGB, berprestasi, dia berhasil 2 periode, dia santri dan sangat dekat dengan kelompok muslim, ini akan dipertimbangan untuk posisi cawapres. AHY demokrat.
“Capres belum mendapat respon publik. Demokrat sudah punya. AHY mampu meraup suara kaum milenial. Kemudian didorong untuk Jokowi. Kekuatannya semakin terlihat. Saya pikir Partai Demokrat juga 2 periode berkuasa, jadi saya pikir tidak mungkin demokrat hilang begitu saja. Jadi masih banyak simpatisan dan yang militan dengan demokrat masih ada. Jadi kalu digabung akan luar biasa,” ungkapnya.
Pertanyaannya kemudian, partai-partai pendukung lain dapat apa. Biasanya negosiasi politik. Dalam konsep konseptual gotong royong, kursi mentri. Bersama-sama membangun.
Elektabilitasnya luar biasa, misalnyaa di atas 50 persen partai akan mendekati. Tapi elektabilitas di bawah, saya kira sangat logis partai yidak mendukung merek.
“Partai kan ingin berkuasa, masa mendukung calon yang elektabilitasnya rendah. Itu saja. Untuk Gatot Nurmantyo, sangat rendah,” jelasnya.
Sementara penentuan sebagai calon, (pemilu) ini kan gawenya partai. Partai yang central menentukan. Calon-calon rendah, masa iya dipaksakan.
“Sebetulnya yang lebih aman yang elektabilitas 70 persen. Jokowi sendiri belum aman karena belum sampe 50 persen. Banyak swing votter. Jokowi sangat pantas menggandeng Cawapres yang bisa ikut mendongkrak elektabilitasnya,”terangnya.
Dua hal yang harus dilakukan Jokowi: memacu pembangunan, berpasangan dengan cawapres.
“Ya AHY. AHY mencoba berkomunikasi dengan Pak Jokowi,” pungkasnya. (*)