MR Jadi Mucikari Karena Kebutuhan Hidup

CIMAHI – Kasus perdagangan manusia yang melibatkan anak di bawah umur dinilai pakar sosial dan Phisikologi anak dr. Miryam Ariadne Sigarlaki, M.Psi dari Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) Cimahi terjadi, karena ada banyak faktor. Sehingga, tersangka MR samapai menjadi mucikari di usianya yang masih belia.

Dirinya menilai, dari beberapa kasus, biasanya seseorang bisa menjadi mucikari karena pelaku pernah jadi korban. Artinya, dia pernah di jual, sehingga dengan pengalaman itu ia tau seluk beluknya.

Selain itu, penyebab lainnya adalah karena ada kesempatan untuk mencoba dan akhirnya terbiasa dan keenakan. Bahkan, kuat dugaan MR nekad menjual gadis-gadis, termasuk temannya sendiri, karena mudah mendapatkan uang. Terlebih, tuntutan kebutuhan gaya hidup remaja semakin tak terkontrol.

’’ Nah yang membuat pelaku makin nyaman adalah korban yang dijualnya tidak mengalami keberatan, karena mereka sama-sama mendapatkan keuntungan,”kata Miryam ketika ditemui kemarin (5/3)

Miryam menjelaskan, kecenderungan remaja lebih memperdulikan lingkungan karena terjadi kecenderungan untuk ikut-ikutan apa yang terjadi di lingkungan. Sebab, masa remaja adalah masa storm and stress, masa badai dan masa-masa tekanan.

Pada dimasa ini juga terjadi krisis peralihan, baik secara fisik dan psikologis ke arah kedewasaan kematangan. Untuk itu, seharusnya remaja dirangkul dan diedukasi serta harus didengarkan, sehingga tingkah lakunya bisa terkontrol.

“Dan disitulah keluarga harus hadir memberi keteladanan yang baik dan pola pengasuhan yang membuat ahlak remaja menjadi terarah,” jelasnya.

Sementara itu, pengamat pendidikan yang juga dosen di STKIP Pasundan Cimahi, Khaerul Syobar, mengatakan perilaku MR menjadi mucikari merupakan degradasi moral generasi muda.

Khaerul menjelaskan, ada blunder yang dilakukan oleh pihak terkait lantaran mengurangi porsi atau bahkan menghilangkan kurikulum pendidikan akhlaq maupun budi pekerti di lingkungan pendidikan dasar dan menengah.

Akibatnya, perkembangan pengetahuan tatakrama dan prilaku anak menjadi kurang baik. Sehingga, prilaku serta tindakan yang keluar dari kesopanan dan tatakrama yang berlaku.

“Anak cenderung berani melawan guru dan orang tua karena tidak diajarkan ilmunya. Itu juga cenderung menjadi penyebab terjadinya anomali prilaku anak anak,” jelasnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan