Tiga belas tahun sudah bencana longsor di TPA Leuwigajah terjadi. Warga Kampung Cireundeu pun memeringati bencana longsor sampah itu dengan olah rasa, nyurasa dan ngajajap nu maot. Seperti apa prosesinya?
Nur Aziz, Cimahi
Harum dupa tercium begitu menyengat di sekitar bale tempat pertemuan para pupuhu (tokoh adat) Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Rabu (21/2).
Tampak beberapa orang berpakaian pangsi (pakaian khas masyarakat Jawa Barat) hitam menggunakan iket kepala, duduk melingkar mengelilingi dua tampan bunga tujuh rupa dan air yang diambil dari mata air gunung pasir panji diwadahi dengan sebilan bambu. Salah satu dari mereka melapalkan doa yang kemudian diamini oleh orang orang yang hadir.
Selesai berdoa, mereka keluar dari bale dan berjalan sejauh kurang lebih 1 kilometer menuju bukit yang luasnya sekitar 70 hektar. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak dengan tanjakan dan turunan yang sedikit curam. Sepanjang perjalanan tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Mereka berjalan dengan diam seolah sedang khusyuk berdoa.
Sesampainya ditujuan, kembali mereka duduk setengah lingkaran menghadap jurang yang ketinggiannya sekitar 35 sampai 40 meter dengan menyimpan bunga dan sembilan bambu yang diisi air tadi di depan mereka.
Tak lama kemudian tujuh di antara orang orang tersebut mengeluarkan karinding (alat musik khas sunda) dan langsung memainkannya. Semakin lama alunan musik yang keluar dari karinding yang mengiringi doa yang dilakukan salah seorang lainnya semakin terasa menusuk hati dan menambah kekhusyukan mereka dalam berdoa.
Setelah selesai prosesi ritual tersebut, satu persatu dari mereka yang diawali oleh pupuhu adat Cireundeu berdiri dan langsung menabur bunga serta menciprat-cipratkan air yang ada di dalam bambu tadi ke jurang yang ada di depan mereka.
Prosesi ritual dan tabur bunga serta mencipratkan air kejurang yang dimulai pada pukul 09.00 hingga pukul 11.30 tersebut adalah merupakan salah satu peringatan untuk mengenang tragedi longsor Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah.
”Ini sebagai pengingat akan tragedi longsor yang telah terjadi. Peristiwa longsor tersebut, bukan kesalahan alam, tapi kekurang telitian manusia dalam mengolah alam serta kurangnya mensyukuri atas nikmat yang telah diberikan Tuhan akan kekayaan alamnya,” ujar pupuhu (tokoh adat) Kampung Cireundeu Abah Asep, di lokasi pelaksanaan prosesi peringatan 13 tahun longsor TPA leuwigajah, kemarin (21/2)