Saya sabar menunggu pencernaan saya istirahat. Tidak makan apa pun. Dada dan punggung memang masih sakit tapi sudah turun. Dari skala 9 (saat menuju rumah sakit) ke skala 6 (antara 1-10). Dengan rasa sakit skala 6 saya tidak mengeluh. Sudah jauh lebih ringan dibanding skala 9.
Sambil berbaring lemas, saya ingat. Sekarang sudah pukul 15.00. Saatnya berangkat ke Makkah. Dengan bus besar. Sejauh 450 kilometer. Lima jam perjalanan.
Saya timbang-timbang kondisi badan saya. Berangkat? Kuat? Tidak? Kesimpulan: tidak kuat.
Memang bus besar itu hanya akan diisi 12 orang keluarga kami saja tapi badan ini lemas rasanya. Kepala juga masih berat. Akibat morphin dan suntik obat tidur.
Saya minta agar istri mengumpulkan keluarga. Di kamar saya. Saya putuskan: saya, istri dan anak wedok saya, Isna Fitriana tetap di Madinah. Sambil menunggu perkembangan kesehatan saya.
Selebihnya harus berangkat ke Makkah. Terutama Azrul yang belum pernah ke Makkah. Tidak boleh gagal. Ivo, istri Azrul, memang sudah dua kali ke Makkah tapi kali ini harus mendampingi suaminya.
Tatang, suami Isna, yang juga sudah beberapa kali ke Makkah menjadi bapak asuh untuk enam cucu. Sekaligus menjadi tour guide umrah mereka. Saat ini bus besar mestinya sudah siap. Besok pagi, kalau keadaan membaik kami bertiga menyusul ke Makkah.
Mereka pun bergegas menyiapkan diri. Terutama perlengkapan ihram untuk enam cucu. Pasti tidak mudah mengatur mereka. Tidak bisa cepat.
Bus besar tidak boleh ngebut. Mereka baru tiba di Makkah tengah malam. Langsung ibadah umrah. Saya melihatnya dari kiriman foto dan video yang diperlihatkan istri saya. Saya hanya bilang ya ya ya.
Sakit saya masih datang pergi. Pergi datang. Melihat kondisi saya yang tidak membaik, Isna mengajukan usul. Malam ini ada penerbangan langsung dari Madinah ke Jakarta. Bisa beli tiket baru.
Tiba di Jakarta bisa masuk RS di Jakarta atau ke Surabaya dan langsung ngamar di rumah sakit Surabaya. Isna siap untuk tidak ke Makkah. Kalau ya berarti dua jam lagi harus ke bandara.