Gagas Lab Komputer Mini, Ajarkan Bikin Aplikasi

Para siswa pun mulai belajar coding, membuat perintah dan pengaplikasiannya lewat komputer. Mereka mencoba membuat aplikasi. Yang kali pertama dibuat adalah aplikasi Saron Simulator. Yaitu aplikasi Android yang dibuat untuk memudahkan siswa yang ingin bermain gamelan. ”Gamelan itu kan alatnya besar-besar dan berat. Kalau mau punya satu set gamelan, juga harganya mahal,” tutur Dewis.

Saron Simulator terbuat dari bahan yang sederhana. Misalnya akrilik dan papan kayu yang bisa juga disubstitusikan dengan papan plastik. Untuk suara alat-alat gamelan, diambil terlebih dahulu sampelnya dengan direkam menggunakan ponsel Android. ”Sampel suara itu dimasukkan ke aplikasi menggunakan coding. Nanti dari komputer muncul suara yang menyerupai alat gamelan yang sudah direkam,” lanjutnya.

Saron Simulator dimainkan seperti alat gamelan biasa. Bentuknya lebih tipis, ringan, dan sederhana. Sehingga lebih praktis. Bahkan bisa dilipat. Awalnya Saron Simulator itu digunakan untuk simulator satu alat gamelan saja, yakni saron.

Seiring kreativitas siswa, Saron Simulator diperluas untuk alat-alat lainnya. Misalnya peking, bonang, jengglong, gong, dan kempul. Namanya pun berubah menjadi Gamelan Simulator. Saron Simulator telah mendapatkan beberapa penghargaan. Di antaranya Indonesia ICT Awards (Inaicta) 2014 dan Merit Award Asia Pacific ICT Alliance (Apicta) Awards 2014. Dewis sendiri berhasil menyabet penghargaan SATU Indonesia Award 2016 yang dihelat PT Astra International Tbk.

Aplikasi Android lain yang dikembangkan anak-anak binaan Dewis adalah Pemetaan Pelajar dari Keluarga Miskin. Aplikasi tersebut berisi nama, alamat, foto rumah, dan titik koordinat rumah siswa miskin.

Aplikasi itu dibuat untuk mendata siswa-siswa miskin yang layak menerima beasiswa. Yang membuat adalah alumni siswa binaan Dewis yang telah menginjak bangku SMP. Namun, dalam praktiknya, pendataan siswa miskin di lapangan menggunakan bantuan dari siswa SDN Regol 10.

Dewis menjelaskan, banyak siswa tak mampu yang sulit melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP setelah lulus SD. Banyak orang tua siswa yang bekerja sebagai buruh tani, tukang cuci, bahkan serabutan.

”Kalau mengandalkan bantuan dari KIP (kartu Indonesia pintar, Red) milik pemerintah, hanya cukup untuk beli buku. Tapi, ketika masuk jenjang sekolah yang lebih tinggi, ada uang pangkal yang harus dibayar dan biasanya jutaan rupiah. Nah, itu yang sulit,” terang pria 35 tahun tersebut.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan