jabarekspres.com – Mahalnya biaya politik pada setiap perhelatan demokrasi selalu menjadi sorotan masyarakat. Sebab, pada setiap gelaran pemilu jumlah peredaran uang untuk biaya politik bisa terbilang sangat fantastis.
Direktur Lembaga Kajian dan Konsultan Politik dari Landscape Indonesia Asep Komarudin mengatakan, mahalnya ongkos sebuah perhelatan pesta demokrasi ini ditunjukkan dengan penyediaan anggaran untuk Pilkada di Jabar pada 2018 nanti.
Dirinya menyebutkan, untuk perhelatan Pilkada serentak di Jabar, Pemprov Jabar menganggarkan Rp 1,6 triliun lebih yang disalurkan dalam dua tahap. Baik itu untuk KPU, Bawaslu, Kemanan TNI/Polri dan elemen masyarakat lainnya.
”Jadi secara substansinya pemerintah sendiri mengeluarkan biaya besar untuk pilkada serentak di 16 kabupaten/kota dan pilgub Jabar nanti. Apalagi calonnya,” jelas Asep, belum lama ini.
Dia menilai, besaran anggaran itu sebetulnya diperuntukan untuk 16 kabupaten/kota dalam penyelenggaran pilkada. Dia berpandangan, besarnya angka yang dikeluarkan pemerintah untuk membantu penyelenggaran pilkada seharusnya lebih elok jika menghasilkan pemimpin yang memiliki integritas dan kapabilitas dalam menyejahterakan masyarakat.
Sekretaris DPD Partai Golkar MQ Iswara menerangkan, biaya politik untuk pilkada serentak kali ini kemungkinan akan lebih besar daripada pilkada sebelumnya. Sebab, pada aturan KPU yang baru masa kampanye nanti akan lebih lama yaitu selama tiga bulan.
Dirinya menilai, dalam penyelenggaraan kampanye nanti KPU akan memberikan fasilitas berupa alat peraga kampanye, biaya sosialisasi, seragam dan lainnya. Tapi, untuk berbicara mengenai mahalnya biaya pilkada harus dimulai substasinya dari awal.
Iswara menuturkan, mahalnya biaya pilkada harus dihitung dari tahapannya. Sebab, untuk biaya politik tidak bisa dipisahkan pada pilkada nanti.
”Masalah biaya dalam politik adalah kebutuhan yang sangat mendasar. Dalam praktiknya, persiapan biaya terbagi dalam dua bagian yaitu, untuk pengeluaran sejak dari tahapan pemilu hingga kondisi terburuk yaitu gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK),” urainya.
Hal lain, politik tidak lepas dari pandangan money politics. Itu menjadi pengganjal seseorang untuk benar-benar kredibel di mata masyarakat. Meski demikian, Iswara menilai, masyarakat saat ini lebih dewasa menyikapi money politics.