Pertunjukan musik juga harus dua arah. Ada dialog dengan penonton. Contohnya, Jhonny yang rada-rada ustad dan sedikit ”ngarab” itu membuka penampilan dengan salam yang fasih. ”Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, alhamdulillah, wassholatu…” Sebelum akhirnya dibentak oleh Boedi. ”Woy, mau nyanyi, bukan ceramah.” Geer…penonton pun tertawa.
Tidak hanya permulaan lagu. Tengah-tengah lagu juga tidak boleh absen dari dialog dengan penonton. Lagu Bintangku Bintangmu bercerita tentang tebak-tebakan kepribadian berdasar zodiak. ”Bintang Gemini, maunya menang sendiri. Bintang Akuarium…(musik berhenti)”. ”Salah lagi lu, Jhon, mana ada bintang akuarium.”
”Lha ini tulisannya akuarium, ni siapa yang nulis, sih?”
”Elu Jhon!” ”Abis makan ngakunya belum (musik berlanjut).”
OM PMR didirikan pada 1977. Di rumah Ajie Bahadur di Kebayoran Baru, Jakarta. Berangkat dari kesukan manggung di acara sekolah. Mereka adalah saudara dan teman akrab. Mereka dahulu mengidolakan Rolling Stone, The Beatles, dan yang paling utama, Koes Plus. Per 14 Desember 2017, OM PMR resmi berusia 40 tahun. Total 22 album dan kompilasi berisi ratusan lagu mereka hasilkan.
Karena dianggap mampu merengkuh semua kalangan, enam pemuda eksentrik itu akhirnya memilih orkes Melayu-dangdut sebagai jalan musik mereka dengan gendang kecil, kecrekan, dan petikan mandolin, gitar kecil mirip ukulele. Ada juga alat musik yang tidak ditemukan di grup mana pun. Yakni, harmonisir. Gabungan antara harmonika dan sisir.
Ceritanya, pada tahun pertama berdiri, mereka manggung di Balai Sidang (sekarang Jakarta Convention Center). Beberapa saat sebelum naik pentas, apes, Jhonny lupa membawa harmonika. Tak kehabisan akal, Jhonny mengeluarkan sisir dari balik saku jinsnya (hampir seluruh personel waktu itu menyimpan satu sisir di saku celana). Sisir itu dibungkusnya dengan plastik. Lalu, dia mulai meniupnya seperti meniup harmonika.
Ada satu hal yang bikin OM PMR dikenal sebagai grup musik ”perusak” lagu orang lain. Yakni, kesenangan mereka memarodikan lagu-lagu milik orang lain. Yang paling terkenal tentu lagu romantis Ratih Purwasih berjudul Antara Benci dan Rindu yang dihancurkan menjadi parodi getir sepasang suami istri yang kelabakan saat rumah mereka diterjang banjir. (*/c10/nw/rie)