Penantian Ratusan Tahun Kemunculan Burung Simbol Minahasa

Jadilah di Minahasa, manguni siau hidup di antara realitas dan mitos. Diyakini ada, bahkan dianggap suci, tapi belum ada yang pernah melihatnya secara langsung. Padahal, manguni juga jadi simbol Kabupaten Minahasa.

Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa menjadikannya pula sebagai lambang. Sebuah ormas di Sulawesi Utara juga menyebut diri mereka Brigade Manguni. Begitu populernya, tapi tak seorang pun pernah melihatnya selama ratusan tahun.

Jadi, tak mengherankan ketika Rahul Sidik, seorang pemilik warung di Pasar Ampera Ulu Siau, melihat seekor burung cokelat dengan mata tajam yang hinggap di warungnya pada suatu malam beberapa waktu lalu, dia juga tak yakin itu manguni. Penasaran, Rahul pun menangkap dan mengikatnya. Untuk memastikannya, dia pun mengontak Buyung.

Buyung juga berhati-hati benar saat ditanya Rahul apakah burung tersebut memang manguni. Bahkan, seandainya saat itu dia yakin, Buyung mengaku akan memilih merahasiakannya.

Sebab, dia khawatir Rahul tak akan menyerahkannya untuk diteliti. Sebab, di Minahasa, siapa pun tahu, betapa langkanya burung tersebut. Dan, langka otomatis bersinonim dengan sangat berharga. Tapi, untung Rahul bersedia memberikan si cokelat bermata tajam itu kepada Buyung.

Mengutip situs Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (P4MRI) Universitas Negeri Manado, manguni dipilih sebagai simbol Minahasa didasarkan pada kepercayaan turun-temurun. Burung tersebut diyakini sebagai salah satu ciptaan Opo Empung Wananatas atau roh paling atas yang menguasai langit dan bumi.

Manguni berasal dari ’’mauni’’ yang dalam bahasa setempat berarti ’’mengamati’’. Diberi nama demikian karena manguni bertugas berjaga saat malam. Tak boleh tidur. Demi keselamatan anak-cucu Toar-Lumimuut alias nenek moyang warga Minahasa.

Ada tiga jenis celepuk di Sulawesi. Celepuk siau, celepuk sangihe, dan celepuk sulawesi. Berdasar data di RMNH, celepuk siau diketahui hanya hidup terbatas di Pulau Siau. Dan, mungkin juga di pulau kecil sekitarnya.

’’Namun, pencarian yang dilakukan sejak 1998 hingga sekarang belum berhasil mencatat perjumpaan terhadap spesies ini,’’ ujar Marthin.

Berdasar hasil survei pada 2012 yang dilakukan Birdlife International 2012, jumlah celepuk siau saat ini diperkirakan hanya tersisa 50 ekor. Buyung malah menduga jumlahnya lebih sedikit lagi: sekitar 20 ekor saja.

Tinggalkan Balasan