Rendahnya serapan DAK KB akibat pengelolaannya yang sangat bergantung kepada proses pencairan. Sebab, DAK KB tidak selalu melekat pada anggaran Kementerian Kesehatan, namun ada juga yang melekat di anggaran kementerian lainnya. Terlebih, pengajuan pengelolaan DAK KB dilakukan tiga bulan sekali.
“Kendalanya di birokrasi karena DAK KB itu tidak bisa berdiri sendiri hingga kabupaten/kota,” ujarnya.
Oleh karena itu, untuk memaksimalkan pengelolaan DAK KB dan pengawasannya, pihaknya menggelar Workshop Tim Pengendali DAK agar pola pengawasan dan pendampingan terhadap pengelolaan DAK KB bisa semakin matang. Dia pun berharap, BKKBN provinsi bekerja sama dengan Badan Pengawas Keuangan Daerah (Bawasda)/Inspektorat dalam pengawasan DAK KB tersebut.
“Jadi kita tidak bisa melakukan intervensi karena itu jadi kewenangan Inspektorat. BKKBN hanya memantau saja dari jauh, ini terlaksana atau tidak. Gak bisa juga melaporkan umpanya jika terjadi penyimpangan. Cuma kan kita kasihan dana sebesar itu tidak dimanfaatkan atau tidak efektif penggunaannya, itu kan perjuangan kita jadi tidak sia-sia,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala BKKBN Perwakilan Jawa Barat Teguh Santoso menyebutkan, DAK KB untuk Provinsi Jabar totalnya mencapai Rp162 miliar yang meliputi DAK fisik sebesar Rp23 miliar untuk 23 kabupaten kota dan non-fisik sebesar Rp139 miliar untuk 27 kabupaten/kota di Jabar.
“Kita juga sudah mengajukan anggaran dari APBD sebesar Rp27 miliar, semoga disetujui oleh mitra di DPRD Jabar,” tandasnya. (yan)