jabarekspres.com, JAKARTA – Nama Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto masih berada di posisi teratas elektabilitas calon presiden di Pemilu 2019. Meski demikian, dominasi keduanya relatif tidak terlalu tinggi. Yang justru paling kuat adalah harapan lahirnya figur calon presiden di luar nama Jokowi dan Prabowo.
Merujuk survei terbaru yang dirilis Media Survei Nasional (Median), elektabilitas Jokowi berada di angka 36,2 persen. Sementara itu, Prabowo berada di belakang mantan wali kota Solo tersebut, yakni 23,2 persen alias terpaut 13 persen.
Direktur Eksekutif Median Rico Marbun mengatakan, dengan peta itu, Jokowi dan Prabowo memang memiliki kans tertinggi untuk bisa terpilih. Namun, jika dilihat lebih jauh, sesungguhnya mayoritas publik tidak menghendaki dua figur tersebut pada Pilpres 2019.
Menurut Rico, ada 40,6 persen responden yang tidak memilih dua nama itu. Angka tersebut jauh lebih tinggi daripada elektabilitas Jokowi maupun Prabowo. ”Artinya, angka yang menghendaki adanya sosok presiden baru secara umum jauh lebih besar,” ujarnya dalam rilis di Jakarta kemarin.
Namun, lanjut dia, keinginan adanya figur baru tersebut tidak terkonsolidasi ke satu sosok. Melainkan tersebar ke beberapa nama. Mulai Susilo Bambang Yudhoyono, Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, Jusuf Kalla, Hary Tanoesoedibjo, Aburizal Bakrie, Ridwan Kamil, hingga Tri Rismaharini. ”Ini menjadi peluang bagi figur baru untuk bisa tampil,” imbuhnya.
Dengan kondisi tersebut, lanjut Rico, posisi Jokowi untuk mengamankan periode kedua kepemimpinannya tidaklah aman. Elektabilitas di bawah 40 persen bagi seorang petahana bukanlah angka yang ideal. Bukan hanya ancaman dari Prabowo, ancaman dari figur baru juga cukup nyata.
Terkait belum dominannya pilihan kepada Jokowi, Rico menilai hal tersebut tidak lepas dari kondisi yang terpotret saat ini. Kepuasan terhadap kinerja pemerintahan, khususnya dalam bidang ekonomi, masih jauh dari harapan masyarakat
Dari banyaknya masalah yang terjadi di Indonesia, misalnya, tiga persoalan tertinggi terjadi di sektor ekonomi. Mulai kondisi ekonomi sulit, sempitnya lapangan pekerjaan, hingga sembako dan listrik mahal. ”Bahkan, 32,4 persen menilai ekonomi zaman SBY lebih baik. Yang menilai ekonomi lebih baik dari zaman SBY hanya 30,1 persen,” tuturnya.