Separo Lebih Pelaku Masih di Usia Produktif

Biasanya, jika sudah dikait-kaitkan dengan mitos itu, warga kemudian beramai-ramai mencari gelu atau penanda terkait. Namun, dari berbagai kejadian, masyarakat pada umumnya kebingungan untuk menemukan penanda tersebut.

”Dari situ, mulai muncul pergeseran keyakinan dari pulung gantung ke multifaktorial bunuh diri,” terang Yanuwidiasta.

Kasus gantung diri H, warga Kecamatan Semin, Gunungkidul, juga menunjukkan indikasi pergeseran pola pikir tersebut. Warga sekitar melihat, tidak ada keterkaitan tindakan H itu dengan mitos masa lalu.

”Lha memang orangnya sudah sakit menahun, merambat ke masalah ekonomi,” kata Sudoko, ketua RT 03, tempat H tinggal.

Imaji memang menemukan fakta bahwa bunuh diri bisa disebabkan berbagai faktor. Namun, faktor depresi dan sakit fisik menahun memiliki kontribusi terbesar sebagai pemicu bunuh diri.

”Sebanyak 43 persen memutuskan untuk bunuh diri karena depresi, 26 persen karena sakit,” terangnya.

Wakil Koordinator Imaji Sigit Wage Daksinarga menambahkan, data yang terkumpul selama ini menunjukkan bahwa kebutuhan warga Gunungkidul terhadap tenaga medis kejiwaan sudah mendesak. Namun, meski data kebutuhan itu sudah diketahui Pemkab Gunungkidul, belum ada langkah proaktif untuk memenuhinya. ”Gunungkidul yang seluas ini, psikiater hanya satu, di RSUD Gunungkidul,” kata Wage.

Langkah Pemkab Gunungkidul dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Berani Hidup pada 2016, yang lantas diganti menjadi Tim Pencegahan Bunuh Diri pada Juli lalu, juga belum efektif. Sebab, mayoritas pihak yang ditunjuk untuk terlibat dalam tim itu adalah birokrat.  ”Pemkab juga belum tahu mau bertindak seperti apa, penganggarannya seperti apa,” kata Wage.

Ida Rochmawati, anggota Tim Pencegahan Bunuh Diri, menyatakan, pemkab sejatinya sudah memperhatikan dan serius menangani fenomena yang menjadi cap hitam Gunungkidul selama ini. ”Tolong ini dicatat, Gunungkidul adalah satu-satunya kabupaten yang punya peraturan bupati terkait penanggulangan bunuh diri. Ini sudah bergerak, cuma memang belum sinergi,” tuturnya.

Perempuan yang juga satu-satunya psikiater di Gunungkidul itu menyebutkan, yang sudah dilakukan pihaknya saat ini adalah deteksi dini terkait dengan faktor risiko bunuh diri. Mereka sudah mengunjungi langsung masyarakat, termasuk tokoh agama, untuk menyosialisasikan deteksi dini itu. ”Kami bersama Imaji juga menyampaikan sosialisasi moto Lihat, Dengar, dan Hubungkan,” kata Ida.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan