Sementara itu, suara penolakan lima hari sekolah dari daerah kian kencang. Salah satunya datang dari Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jatim KH Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah. Menurut dia, jika itu tidak direspons pemerintah, suara pendukung Jokowi dari kalangan nahdliyin (warga NU) Jatim bisa hilang.
”Selain menimbulkan kerugian pada dunia pendidikan, ini juga kerugian politik bagi Presiden Jokowi,” katanya.
Selama ini, lanjut dia, NU memberikan dukungan penuh pada program maupun kebijakan pemerintah. Sebab, NU menilai kebijakan Jokowi bermanfaat bagi rakyat. Namun, jika ada satu kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat, NU tidak akan segan-segan mengkritik, bahkan dengan cara keras.
Meski begitu, Mutawakkil mengakui jasa Jokowi tidak sedikit. Beberapa harapan besar nahdliyin direspons secara positif oleh Jokowi. Contohnya adalah permintaan menjadikan tokoh-tokoh penyebar Islam diberi gelar kepahlawanan. Misalnya, KHR As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo yang diberi gelar pahlawan oleh Jokowi pada 2016. Jokowi juga menetapkan Hari Santri Nasional setiap 22 Oktober, yang notabene merupakan aspirasi warga NU sejak lama.
Mutawakkil berharap Jokowi dan Mendikbud tidak menafikan fakta bahwa pendidikan karakter sudah lama diterapkan di pondok pesantren maupun madrasah diniyah. ”Pendidikan karakter itu sudah ada di Indonesia sejak lama, namanya akhlakul karimah,” kata pengasuh PP Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, itu.
Prinsip di pesantren, sebelum siswa menerima ilmu, para kiai memasukkan doktrin-doktrin penghormatan terhadap ilmu, guru, dan sumber-sumbernya. Serta, membersihkan hati para santri dengan latihan-latihan spiritual. Dengan begitu, meski mereka pandai, perilaku para santri tetap terjaga.
Selain itu, Mutawakkil menyesalkan Mendikbud Muhadjir Effendy yang merasa telah mendapatkan dukungan dari kalangan pesantren hanya dengan beberapa kali kunjungan. Dia menyebutkan dan memastikan bahwa seluruh pesantren di Jatim satu suara menolak full day school. (pan/jpg/rie)
