Begitu pula dengan bercerai. Bila sudah tidak cocok satu sama lain, mereka tinggal berpisah begitu saja. ”Setelah berpisah, baru boleh dinikahi yang lain,” tambah dia.
Setelah penjelasan panjang lebar itu, Haris sudah bersiap dengan tas ransel. Dia membawa oleh-oleh yang kami siapkan untuk suku Polahi. Beberapa bungkus cokelat, biskuit, dan ikan kaleng. Kami juga membawa beras yang akan dimasak untuk makan malam di Polahi. Sedangkan Gusran membawa nasi dibungkus daun pisang untuk bekal makan siang. Estimasi perjalanan sekitar enam jam.
Kamis (20/7) sekitar pukul 10.00 Wita, perjalanan menuju Polahi dimulai di bawah langit yang berawan. Kami berangkat jalan kaki ke arah barat laut dari rumah Haris menuju hutan belantara Humuhulo.
Jalan lebar berbatu terhampar di antara bukit yang ditanami jagung yang siap dipanen. Sekitar 15 menit kemudian, Sungai Bongo yang dangkal berbatu tapi beraliran deras harus kami lewati. Sungai selebar 30 meter itu keruh. ”Di hulu ada penambangan emas,” terang Haris.
Setelah sungai itu, jalan relatif menanjak dan menurun. Beruntung, saat siang yang mulai berubah jadi terik tersebut ada traktor pengangkut bahan bakar lewat. Kami bertiga mendapat tumpangan dari traktor yang dipakai untuk proyek hutan tanaman industri itu. Traktor dengan ban besar tersebut mengerang saat mendaki jalan terjal yang di kiri dan kanannya ditanami jabon.
Sekitar 45 menit kemudian, traktor itu sampai di pos pegawai hutan tanaman industri. Lumayan, menurut Haris, tumpangan tersebut bisa memotong sekitar dua jam jalan kaki. Haris ingat tak jauh dari pos itu ada air terjun Tumba dengan Sungai Pamerpakua yang jernih. Karena sudah waktunya makan siang, kami beristirahat, membuka bekal, sambil melemaskan otot kaki. (bersambung/c10/oki/rie)