jabarekspres.com. BANDUNG – Meski sudah berbasis online, nyatanya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di wilayah Jawa Barat belum bebas pungutan liar (Pungli). Hal ini terjadi di karena banyak orangtua yang memaksakan anaknya diterima di sekolah yang dituju.
Asisten Pratama Ombudsman Jawa Barat M. Taufan Dwi Putra mengatakan, sampai saat ini pihaknya sudah menerima lebih dari 90 laporan permasalahan yang terjadi selama PPDB. Data tersebut diperoleh Ombudsman melalui call center di setiap wilayah. ”Saat ini yang terdata dilaporkan melakukan kecurangan terjadi di Karawang, Subang, dan Purwakata,” kata Taufan kepada Jabar Ekspres di ruang kerjanya, Jalan Kaum, Kota Bandung, kemarin (7/7). ”Sebanyak 90 ini, laporan kasus. Bukan laporan perorangan,” sambungnya.
Taufan menjelaskan, pengaduan yang diterima oleh Ombudsman beragam. Mulai dari sistem online yang belum bisa diakses secara meyeluruh, siswa non-akademik yang tidak mendapatkan tempat dan lain-lain.
”Jalur non-akademik ini yang seharusnya berjalan dengan baik tapi tidak bisa berjalan secara optimal karena terkendala oleh sitem zonasi,” urainya.
Yang paling krusial, kata dia, pihaknya mendapatkan temuan di Kabupaten Subang ada orangtua calon siswa yang melaporkan adanya oknum sekolah yang meminta uang sebesar Rp 15 juta agar anaknya bisa masuk ke sekolah tersebut.
”Kasus ini sedang kami perdalam. Jika ada pihak sekolah atau pun luar sekolah akan kami laporkan kepada yang berwenang (Saber Pungli, Red),” jelasnya.
Tidak hanya itu, pihaknya mendapatkan pengaduan dari orangtua siswa yang anaknya tidak bisa mendapatkan jatah dari jalur non-akademik, karena anak tersebut ibunya bekerja sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS). Sedangkan ayahnya sebagai pekerja serabutan.
”Anak ini ikut suaminya tapi karena di Kartu Keluarga (KK) ibunya PNS. Jadi anak ini tidak berhak mendapatkan dari jalur Rawan Melanjutkan Pendidikan (RMP),” jelasnya.
Khusus di Bandung, kata dia, ada beberapa permasalah seperti adanya siswa yang tidak bisa masuk ke sekolah. Salah satunya, zonasi dari rumah ke tempat sekolah jaraknya terlalu dekat. Yang menohok, ada pula nama siswa yang muncul ganda di beberapa sekolah. Padahal, dia daftar di satu sekolah.